Judul Buku : Temporary Marriage in Islamic Law
Pengarang : Ayatullah Abul Qasim Gourji
Terbitan : Ahlul Bayt Digital Islamic Library
Project 1997
Penterjemah : Mustamin Al-Mandary
Judul
Terjemahan : Nikah Mut’ah Dalam
Perbincangan Mazhab-
Mazha
Ayatullah Abul Qasim Gourji adalah seorang guru besar hukum dan akhlaq
di Universitas Teheran. Beliau lebih menekankan kajiannya dalam aspek hukum,
khususnya dalam hal perbedaan hukum di antara mazhab-mazhab Islam, bukan hanya
dalam internal Syi’ah sendiri. Ketika Sachiko Murata mengambil kuliah S2-nya di
Universitas Teheran dan menyelesaikan tesisnya yang mengambil topik Nikah
Mut’ah dalam pandangan para fuqaha Islam dari Sunni dan Syi’ah, Ayatullah Abul
Qasim Gourji-lah yang menjadi pembimbing utamanya dalam menyelesaikan tugas
akademis ini.
Pengantar
Penterjemah
Salah satu ciri khas
keberagamaan masyarakat Muslim adalah adanya ragam pendapat baik dalam hal ushuluddin maupun
fiqh. Selama ini, banyak kelompok pemikiran Islam (mazhab) yang mengklaim
otoritas kebenaran hanya berada dalam lingkaran mereka saja. Mereka menafikan
kemestian sejarah bahwa sejak pada zaman Rasulullah Saww sekalipun, keragaman
pendapat itu menjadi bagian dari kekayaan aktivitas keberagamaan di kalangan
sahabat. Ada banyak riwayat yang menyebutkan, ketika dua (kelompok) sahabat
berselisih pendapat dalam suatu hal, maka Rasulullah akan memberikan penjelasan
kepada mereka tanpa menggunakan sudut pandang benar salah, tetapi Rasulullah
saww menggunakan pola pendekatan
kebenaran gradatif, yaitu pendekatan yang mempercayai bahwa kebenaran itu bukanlah
logika Aristotelian yang benar salah, tapi merupakan gradasi kualitas yang
sangat tergantung kepada niat dan ketulusan mencari keridhaan Allah Swt
(walaupun mungkin, dalam beberapa kasus Rasulullah Saww menunjukkan mana yang
benar dan mana yang semestinya ditinggalkan). Kebenaran secara kontekstual
adalah upaya aproksimasi maksimal yang dilakukan, baik secara individual maupun
secara kolektif, untuk membumikan ajaran-ajaran Allah Swt dan Rasulullah Saww.
Karenanya, adalah sebuah ketidakarifan jika penafsiran “manusiawi” terhadap
ajaran-ajaran Allah Swt dan sunnah Rasulullah Saww dianggap sebagai kebenaran
mutlak dengan menafikan pendapat yang lain. Semestinya, perbedaan penafsiran
tetap harus terbuka untuk dikritisi, agar dapat menjadi pengayaan untuk
memperluas sudut pandang dalam kerangka maksimalisasi pendekatan kebenaran
kepada Sang Kebenaran Mutlak.
Perbedaan penafsiran
teks-teks keagamaan dalam Alqur’an dan sunnah Rasulullah Saww melahirkan
beberapa mazhab dalam Islam dengan berbagai latar belakang sudut pandang. Dari
persfektif yurisprudensi, kita mengenal lima mazhab besar sebagai rujukan hukum
yaitu Mazhab Imamiyyah dari golongan Syi’ah duabelas Imam serta Mazhab Hanafi,
Maliki, Syafi’I dan Hambali dari golongan Sunni (sebuah buku kompilasi fiqh
yang terbaru menyebutkan ada tujuh mazhab yang salah satunya adalah “mazhab
Salafi”). Pada hakikatnya, perbedaan di antara mazhab-mazhab tersebut hanyalah
sebagian kecil dari seluruh ajaran kelima mazhab. Akan tetapi, kita menemukan
beberapa hal tertentu yang perbedaannya sangat mendasar, bukan hanya di
kalangan Sunni sendiri secara internal, tetapi juga terlebih antara Sunni dan
Syi’ah.
Barangkali, perbedaan yang
sangat signifikan antara mazhab Syi’ah dan Sunni dalam bidang fiqh adalah
persoalan nikah mut’ah. Semua ulama
Sunni sepakat bahwa nikah mut’ah memang pernah diperbolehkan oleh Rasulullah
Saww dalam kurun waktu tertentu, tetapi kemudian dilarang untuk selama-lamanya.
Sementara itu, mazhab Syi’ah percaya bahwa Rasulullah Saww tidak pernah melarang
nikah mut’ah sampai Rasulullah Saww wafat. Menurut mazhab ini, dengan mengutip
sumber-sumber Sunni sendiri, Rasulullah Saww tidak pernah mengajarkan nikah
mut’ah kecuali setelah Allah Swt menjelaskan masalah ini di dalam surah An-Nisa
ayat 24. Akan tetapi, sepeninggal Rasulullah Saww, Umar bin Khattab-lah yang
kemudian melarang pelaksanaan nikah mut’ah di pertengahan masa pemerintahannya
sebagai khalifah.
Buku ini menjelaskan nikah
mut’ah dalam format yang relatif singkat tetapi padat. Penulis mencoba melakukan
pendekatan dialogis ketika menjelaskan argumen setiap mazhab. Dengan pendekatan
inilah, setiap pembaca dapat melakukan cross-check sendiri jika
diperlukan. Semoga buku ini bisa memberikan keterbukaan baru bagi siapa saja
yang ingin membangun dialog akademis yang bermartabat, khususnya dalam
menyikapi perbedaan fiqiyyah antar mazhab.
Wassalam,
Mustamin Al-Mandary
Tembagapura, 5 Oktober 2000.
Daftar Isi
Pendahuluan
Bagian
Pertama
Bukti-bukti Dari Alqur’an dan Kitab Tafsir Sunni
Bagian
Kedua
Bukti-bukti Dari Kitab Hadits Sunni
Bagian
Ketiga
Bukti-bukti
Dari Kitab Tarikh Sunni
Bagian
Keempat
Beberapa Riwayat Yang Bertentangan
Bagian
Kelima
Tujuan Pernikahan
Kasus
Nikah Mut’ah dan Khamr
Pelarangan
Hubungan Seksual Yang Tidak Sah
Beberapa
Komentar Lain Tentang Nikah Mut’ah
Bagian
Keenam
Persamaan Dan Perbedaan Nikah Mut’ah dan Nikah
Da’im
Bagian
Ketujuh
Urgensi dan Manfaat Nikah Mut’ah
Bagian
Kedelapan
Beberapa Pertanyaan Seputar Nikah Mut’ah
PENDAHULUAN
Pernikahan berjangka,
pernikahan sementara atau pernikahan untuk mencari kenikmatan adalah beberapa
arti harfiah dari kata nikah mut’ah dalam bahasa Arab yang berarti sebuah
perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (untuk saling
menghalalkan satu sama lain dan hidup sebagai suami istri), yang hampir sama dengan pernikahan tanpa
batas waktu, pernikahan permanen, pernikahan konvensional atau pernikahan
da’im. Perbedaan yang paling mendasar dari keduanya hanyalah bahwa pernikahan
sementara hanya berlangsung dalam interval waktu tertentu, dimana setelah waktu
tersebut berakhir, maka kedua suami istri itu akan berpisah tanpa perceraian (thalaq).
Salah satu kesalahpahaman sehubungan dengan pernikahan sementara ini adalah
sebagian orang menganggap perempuan yang terikat dengan nikah mut’ah dapat
melakukan pernikahan ini kapan saja, bahkan setiap jam. Anggapan ini
benar-benar sebuah kesalahpahaman. Karena sebenarnya, setelah masa nikah mut’ah
itu selesai, maka perempuan tersebut harus melewati masa iddah-nya selama dua
bulan sebelum dia dapat melakukan nikah mut’ah dengan laki-laki yang lain.
Masalah ini akan didiskusikan pada bagian selanjutnya secara terperinci.
Orang yang
pertama sekali memperbolehkan nikah mut’ah dengan segala peraturan yang
berhubungan dengan pelaksanaannya adalah Rasulullah Muhammad Saww setelah
masalah ini dijelaskan oleh ayat yang telah diturunkan oleh Allah di dalam
Alqur’an (4:24). Semua orang Islam percaya bahwa Rasulullah telah
memperbolehkan nikah mut’ah setelah hijrahnya ke Medinah, dan setelah itu kaum
muslimin melakukannya selama Rasulullah masih hidup (lihat Al Mughni,
oleh Qudamah, V.6, hal. 644, edisi ketiga). Namun kemudian muncul perbedaan
pendapat antara mazhab Syi’ah dan sebagian orang Sunni apakah kemudian
Rasulullah Saww melarangnya atau tidak. Sebagian orang Sunni percaya bahwa
meskipun Rasulullah Saww pada awalnya memperbolehkan nikah mut’ah, tapi beliau
kemudian melarangnya; sementara orang
Syi’ah percaya bahwa, Rasulullah Saww tidak pernah melarang nikah mut’ah sampai
beliau meninggal. Bahkan, nikah mut’ah ini dilakukan oleh banyak sahabat semasa
Rasulullah masih hidup, zaman kekhalifahan Abu Bakar, sampai masa awal
pemerintahan Umar bin Khattab yang kemudian Umar sendirilah yang melarangnya.
Pada
bagian pertama sampai bagian keempat, kita akan mengupas tentang ayat Alquran
yang berhubungan dengan nikah mut’ah dan membandingkannya dengan tafsir-tafsir
di kalangan Sunni, juga akan membuka kembali hadits-hadits yang dimuat di dalam
enam kitab hadits Sunni (Kutubus Sittah) yang berhubungan dengan topik
ini. Pada bagian kelima, kita akan mendiskusikan tentang manfaat pernikahan
dengan merunut pelarangan praktek perzinaan dan diperbolehkannya nikah mut’ah
di dalam sejarah Islam. Pada bagian keenam, akan dibicarakan persamaan dan perbedaan
antara nikah mut’ah dan nikah da’im secara rinci. Kemudian pada bagian tujuh,
kita akan mendiskusikan urgensi serta manfaat nikah mut’ah itu sendiri. Dan
akhirnya, pada bagian kedelapan, kita akan menjawab beberapa pertanyaan yang
sering diajukan banyak orang sehubungan dengan nikah mut’ah ini.
Bagian
Pertama
BUKTI BUKTI DARI ALQUR’AN DAN
KITAB TAFSIR SUNNI
Allah yang
Maha Besar Lagi Maha Agung berfirman dalam Surah Annisa ayat 24: “….Dan dihalalkan bagi kamu (selain perempuan
yang diharamkan untukmu) untuk mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini demi melindungi
dirimu (dari dosa), bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang yang telah kamu
nikmati (istamta’tum) setelah suatu
perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan
bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya
(untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yang
pertama). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.”
Pada ayat
tersebut, istilah bahasa Arab yang sama dengan kata “nikah” ataupun
istilah turunannya, belum pernah digunakan sebelumnya. Tetapi, kata “mut’ah”
yang berarti kenikmatan, kesenangan atau nikah sementara telah digunakan di
ayat ini yaitu pada kata “Istamta’tum.”
Kata “istamta’tum” adalah kata kerja ke sepuluh dari
akar kata m-t-a. Seperti yang akan kita lihat, kata istamta’ juga telah
banyak digunakan di dalam kumpulan tafsir Sunni tentang nikah mut’ah. Tentunya,
mut’ah juga merupakan salah satu bentuk pernikahan, tetapi
peraturan-peraturannya berbeda dengan nikah da’im, termasuk kebolehan pasangan
dalam nikah mut’ah itu untuk memperpanjang pernikahan mereka dengan perjanjian
yang menguntungkan keduanya seperti yang dinyatakan pada akhir ayat tersebut di
atas.
Lebih jauh
lagi, jika kita melihat beberapa komentar Sunni terhadap masalah mut’ah, banyak
mufassir seperti halnya Fakhr Ar Razi menyatakan bahwa ayat 4:24 itu diturunkan
sehubungan dengan nikah mut’ah. Mereka mengatakan dengan terang-terangan bahwa
nikah mut’ah menjadi halal berdasarkan ayat tersebut, tetapi kemudian
menegaskan bahwa nikah mut’ah dilarang setelah itu. Suatu hal yang mengherankan
adalah banyaknya mufassir Sunni yang mengomentari ayat tersebut dengan
menyebutkan sebuah hadits bahwa Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra mengatakan: “Mut’ah
adalah suatu karunia dari Allah. Sekiranya tidak ada Umar yang melarangnya,
maka tidak akan orang yang berzina kecuali yang benar-benar bejat (shaqi).” Silahkan merujuk pada beberapa
kitab tafsir Sunni berikut:
1.
Tafsir Al-Kabir, oleh al-Tsa’labi,
komentar tentang ayat 2:24
2.
Tafsir Al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi,
V3, hal. 200, komentar tentang ayat 2:24
3.
Tafsir Al-Kabir, oleh Ibn Jarir
al-Tabari, komentar tentang ayat 2:24 dengan silsilah perawi yang otentik, V8,
hal. 178, hadits no. 9042
4.
Tafsir al-Durr al-Mantsur, oleh
al-Suyuti, V2, hal. 140, dari beberapa perawi
5.
Tafsir al-Qurtubi, V5, hal. 130,
komentar tentang ayat 2:24
6.
Tafsir Ibn Hayyan, V3, hal. 218,
komentar tentang ayat 2:24
7.
Tafsir Nisaburi, oleh Al-Nisaburi
(abad kedelapan)
8.
Ahkam al-Quran, oleh Jassas, V2,
hal. 179, komentar tentang ayat 2:24
9.
Beberapa sumber yang diceritakan oleh Ibn
Abbas yang telah disebutkan oleh Tabari dan Tha’labi dalam tafsir mereka.
Hal yang
menarik untuk diperhatikan adalah bahwa Umar tidak menisbatkan pelarangan
Mut’ah kepada Rasulullah Saww, tetapi justru menisbatkan pelarangan itu kepada
dirinya sendiri. Banyak sahabat yang menyaksikan bahwa Umar yang telah
melakukan pelarangan tersebut. Umar dengan jelas mengatakan: “Mut’ah telah
diperbolehkan oleh Rasulullah (Saww) dan
kemudian saya melarangnya.” Seorang tokoh Sunni yang besar, Fakhr al-Razi yang
digelari Imam al Musyaqqiqin
(pemimpin orang-orang ragu) di dalam
sebuah tafsirnya yang tebal ketika mengomentari ayat tentang nikah mut’ah
menjelaskan: Umar berkata: “Ada dua mut’ah yang diperbolehkan pada zaman
Rasulullah Saww dan saya melarang keduanya. Kedua mut’ah itu adalah haji
tamattu’ dan nikah mut’ah dengan perempuan.” Silahkan merujuk pada referensi
Sunni di dalam:
1.
Tafsir al-Kabir oleh Fakhr –al-razi,
V3, hal. 201, pada ayat 4:24
2.
Musnad Ahmad bin hambal, V1, hal. 52
Perhatikan bahwa mut’ah
terdiri dari dua jenis yaitu nikah mut’ah dan haji tamattu’. Jenis yang kedua
ini adalah salah satu cara pelaksanaan ibadah haji yang tidak ada hubungannya
dengan tata cara suatu pernikahan. Kedua jenis mut’ah ini dilakukan pada zaman
Rasulullah Saww, zaman pemerintahan Abu Bakar, dan kemudian keduanya dilarang
oleh Umar. Di dalam Alquran, ada ayat yang menjelaskan bahwa haji tamattu’
dapat dilakukan. Namun, penjelasan haji tamattu’ atau haji mut’ah ini bukanlah
bidang kajian kita dalam tulisan ini.
Seperti yang terlihat pada kutipan di atas, Umar tidak
mengatakan bahwa nikah mut’ah dilarang sendiri oleh Rasulullah Saww. Jika
sekiranya Rasulullah sendiri yang melarang nikah mut’ah tersebut, maka
semestinya Umar mengatakan: “Kedua mut’ah itu diperbolehkan dan kemudian
dilarang pada zaman Rasulullah, karnanya saya memberitahukan kalian bahwa
Rasulullah telah menetapkan hukum kedua (tentang pelarangannya) yang menghapus
hukum yang pertama (tentang pembolehannya)”. Tetapi kita dapat melihat dengan
jelas bahwa Umar dengan terang-terangan menisbatkan pelarangan itu pada dirinya
sendiri dan menetapkan bahwa mut’ah itu haram.
Al-Zamakhsyari,
seorang mufassir Sunni yang lain pada komentarnya tentang ayat 4:24 mengatakan
bahwa ayat ini adalah ayat muhkamat dari Alquran. Beliau merujukkan
pendapatnya pada pendapat Ibn Abbas. (Tafsir al-Kasysyaf oleh
Zamakhsyari, V1, hal. 519).
Baik Ibn Jarir al-Tabari
maupun Zamakhsyari menyebutkan bahwa: “al-Hakam Ibn Ayniyah pernah ditanyai
apakah ayat tentang nikah mut’ah telah dimansukh. Saat itu beliau menjawab
‘Tidak’”. Silahkan lihat di dalam sumber Sunni :
1.
Tafsir Tabari, komentar tentang
ayat 2:24, V8, hal. 178
2.
Tafsir al-Kasysyaf, komentar
tentang ayat 2:24, V1, hal. 519
Ibn Katsir
juga menjelaskan dalam tafsirnya: “Bukhari mengatakan bahwa Umar telah melarang
setiap orang untuk melakukan nikah mut’ah”. Lihat referensi Sunni dalam Tafsir
Ibn Katsir, V1, hal. 233.
Di dalam
tafsir Sunni yang lain disebutkan bahwa: Umar suatu waktu berpidato di atas
mimbar sambil mengatakan: “Wahai sekalian manusia, ada tiga hal yang
diperbolehkan di zaman Rasulullah dan saya melarang dan mengharamkan semuanya.
Ketiga hal itu adalah nikah mut’ah, haji tamattu’ dan mengucapkan ‘Hayya ‘Al-khair al-amal’.”
1.
Syarh al-Tajrid oleh al-Fadhil
al-Qosyaji (bagian Imamah)
2.
Al-Mustaniran oleh Tabari
3.
Al-Mustabin oleh
Tabari
Sekedar
catatan, hal ketiga yang dilarang oleh Umar seperti yang disebut dalam kutipan
di atas adalah ucapan di dalam adzan dan qamat setelah kalimat Hayya ala al-falah. Meskipun ucapan ini
telah dilarang oleh Umar di masa pemerintahannya, tetapi mazhab Syi’ah masih
mempraktekkannya sampai saat ini. Kalimat itu berarti “mari berlomba-lomba
menuju amal yang baik.” Kalimat ini telah dihilangkan oleh Umar dan
kemudian digantikannya dengan kalimat: Ash-Shalatu
Khairun min an-naum yang berarti “shalat lebih baik daripada tidur”
(khusus pada azan shalat subuh, pent.).
Menarik
untuk diketahui, ada beberapa tokoh Sunni yang menerima bahwa nikah mut’ah
diperbolehkan dan dihalalkan selama-lamanya berdasarkan ayat Alquran. Salah
satu diantaranya adalah seorang tokoh Tunisia, Syaikh al-Tahir Ibn Asyar pada
tafsirnya tentang ayat 4:24. (Lihat al-Tahrir wa al-Tanwir oleh Syaikh
al-Tahir Ibn Asyar, V3, hal. 5). Di samping itu, banyak tokoh-tokoh lain
yang berpikiran terbuka dimana mereka tidak memperbolehkan otoritas
pemimpin-pemimpinnya mempengaruhi keputusan mereka.
Beberapa
orang ada yang mencoba membuat keraguan
arti kata “mut’ah” dengan mengatakan bahwa secara literal, mut’ah berarti
kesenangan dan tidak secara spesifik menunjukkan suatu jenis pernikahan.
Orang-orang ini, bukannya mencari defenisi praktis tentang mut’ah di dalam
sejarah, hadits, ataupun hukum; justru mereka mencari kamus bahasa Arab.
Padahal, di dalam kamus bahasa Arab itu sendiri dituliskan bahwa pengertian
praktis mut’ah adalah pernikahan sementara atau nikah mut’ah. Semua mazhab
Syi’ah dan Sunni setuju dengan pengertian ini. Al-Qurtubi, salah seorang
mufassir terkenal dari mazhab Sunni menulis: “Tidak ada perselisihan seluruh
mazhab, apakah dari golongan Salaf ataupun Khalaf, bahwa mut’ah adalah suatu
pernikahan dalam interval waktu tertentu yang tidak mencakup pemberian
warisan.”
Mengganti defenisi praktis dengan pengertian linguistik
adalah suatu hal yang sangat berbahaya dan dilarang oleh hukum agama karena
mempunyai implikasi yang luas. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa
shalat berarti pujian atau permohonan, maka hal itu dapat diartikan bahwa
seseorang tidak perlu melakukan pujian itu setiap hari (padahal shalat itu
wajib dilakukan lima kali sehari semalam); atau ketika zakat berarti
‘mensucikan’, maka seseorang tidak perlu mengeluarkan zakat dengan uang atau
lainnya (karna pengsucian tidak berarti memberikan sesuatu dengan uang atau
sejenisnya). Ini benar-benar pengertian yang sangat rancu.
Kemungkinan,
orang-orang tersebut tidak pernah membaca riwayat yang berhubungan dengan
“mut’ah” dalam pengertian yang sangat praktis pada zaman Rasulullah dan zaman
kekhalifahan awal, juga mereka mungkin tidak mengetahui bagaimana sebagian
sahabat Rasulullah melakukan nikah
mut’ah hanya dengan segenggam kurma sebagai maharnya. Bahkan di dalam
Shahih Bukhari yang berbahasa Inggris, ”mut’ah
al-nisa’” diterjemahkan dengan arti ‘temporary marriage’ (pernikahan
sementara) dan “istimta’a” diartikan
dengan ‘marrying temporarily’ (menikah sementara). Di dalam dua kitab Shahih
inilah dimuat riwayat-riwayat yang menjelaskan pengertian ini secara
terperinci. (Silahkan merujuk pada Bagian Kedua untuk melihat secara lengkap
riwayat masalah ini dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Apakah orang-orang
tersebut memang belum pernah mendengar tentang nikah mut’ah di dalam sejarah
Islam?
Beberapa
orang yang lain juga memberikan kerancuan tentang arti ayat nikah mut’ah (4:24)
dengan mengatakan bahwa, kata “istamta’a”
dalam ayat itu merujuk pada penyempurnaan pernikahan da’im setelah pemberian
mahar.
Pernyataan
tersebut tidak benar. Cara yang terbaik untuk mengerti tentang ayat tersebut
adalah; pertama, mengerti bahasa Arab dengan benar (karena kadang padanan yang
benar-benar tepat dalam bahasa yang lain tidak ditemukan); kedua, membandingkan
komentar-komentar yang ada sehubungan dengan masalah tersebut (tanpa terlebih
dahulu membuat pemihakan); dan yang ketiga, melihat kembali semua riwayat yang
berhubungan dengan nikah mut’ah untuk mengetahui apakah istilah “istamta’a”
itu sudah pernah digunakan. Jika kita telah melalui ketiga tahapan ini dan
telah memperhatikan semua pendapat yang berbeda-beda, maka kita semakin dekat
dengan sasaran klarifikasi pengertian kita dalam masalah ini.
Dalam
bagian pertama ini, kita telah melihat beberapa rujukan dari tafsir-tafsir
Sunni di mana para mufassir sepakat bahwa ayat 4:24 diturunkan untuk
menjelaskan tentang nikah mut’ah bahkan mereka juga telah menyebutkan beberapa
riwayat ketika mengomentari ayat tersebut. Lantas, bagaimana mungkin ayat ini
dimaksudkan untuk menjelaskan nikah da’im? Apakah mungkin beberapa tokoh-tokoh
Sunni itu sudah tidak bisa berfikir secara logis lagi dalam melihat
permasalahan ini? Pada pembahasan selanjutnya akan ditunjukkan riwayat-riwayat
yang lebih banyak lagi dari mazhab Sunni dalam komentar mereka tentang ayat
4:24 ini.
Di dalam
Shahih Muslim disebutkan, seorang sahabat Rasulullah Saww, Jabir Ibn Abdillah
al-Ansari mengatakan : ”Istamta’a
berarti menikah sementara” (Lihat Shahih Muslim, versi Bahasa Inggris, V2, Bab
DXLI dengan judul: Temporary Marriage (Nikah Mut’ah), hadits 3246. Juga
silahkan merujuk pada bagian kedua untuk teks bahasa Arabnya secara lengkap).
Jabir ternyata tidak menghubungkan kata “istamta’a” dengan penyempurnaan
pernikahan secara umum.
Di dalam
ayat 4:24 Allah berfirman :
“……Dan bukanlah dosa bagi
kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya (untuk memperpanjang
perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yaitu mahar pada perjanjian yang
pertama)”.
Kesepakatan kedua belah pihak setelah kewajiban
dipenuhi yang dimaksud dalam ayat di atas merujuk pada perpanjangan masa
pernikahan sementara setelah mahar yang pertama telah diberikan kepada
perempuan. Dengan demikian, perempuan tersebut dapat memilih dengan bebas
apakah dia akan memperpanjang masa pernikahan mereka atau tidak tanpa ada
paksaan. Dengan cara ini, Allah ingin mempertegas bahwa nikah mut’ah akan
memberikan manfaat yang lebih baik lagi jika pasangan nikah mut’ah
memperpanjang masanya (atau bahkan melanjutkannya ke pernikahan da’im) dengan
memberikan mahar yang baru setelah mahar yang pertama telah ditunaikan.
Ibn Jarir
al-Tabari dalam tafsirnya menuliskan: “Beberapa riwayat menyebutkan bahwa arti
dari ‘….Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling
merelakannya setelah memenuhi kewajibanmu…’ adalah: ‘Wahai sekalian
manusia, bukanlah dosa bagi kalian untuk saling menyetujui antara kamu dan
perempuan yang telah kalian merasakan kesenangan bersama-sama dalam suatu
pernikahan sementara, untuk memperpanjang masa pernikahan kalian jika
perjanjian yang pertama telah berakhir,
dengan memberikan mahar yang lebih banyak lagi sebagai kewajiban sebelum
kalian meninggalkan mereka.’ Al-Suddi RA menceritakan: “Dan bukanlah dosa bagi
kalian terhadap apa yang kalian sepakati setelah memenuhi persyaratan
perjanjian di antara kalian. Jika suami menginginkan untuk memperpanjang
perjanjiannya, maka dia dapat meminta
istrinya untuk membuat perjanjian yang baru setelah memberikan mahar
yang pertama sebelum masa nikah mut’ah itu berakhir. Dia dapat mengatakan
kepada istrinya: ‘Saya akan menikah mut’ah dengan kamu dengan syarat ini dan
syarat yang itu.’ Lalu dia memperpanjang masa nikah mut’ah mereka sebelum dia
meninggalkan istrinya karena perjanjian yang pertama telah berakhir. Inilah
yang dimaksud dalam ayat ini.” (Riwayat 9046). Rujukan dari mazhab Sunni: Tafsir
al-Tabari oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal.
180.
Alasan
yang lain untuk menunjukkan bahwa mahar yang disebutkan dalam ayat ini bukanlah
untuk pernikahan da’im adalah karna Alqur’an telah membicarakan tentang mahar
untuk pernikahan da’im pada bagian awal di surat yang sama dengan menyebutkan
firman Allah: “Nikahilah olehmu perempuan
yang kamu senangi dua, tiga atau empat, tetapi jika kamu merasa bahwa kamu
tidak mampu berbuat adil (terhadap mereka), maka pilihlah satu saja…..” (4:3)
Demikian juga, Allah telah menjelaskan ketika
berfirman: “Dan berikanlah perempuan itu maharnya (pada pernikahan da’im)
sebagai hadiah buat mereka” (4:4)
Ayat-ayat
ini menjelaskan tentang pernikahan da’im dan mahar yang berhubungan dengannya.
Sehingga, adalah suatu hal yang tidak perlu jika Allah harus mengulangi masalah
mahar ini di surat yang sama. Tetapi, jika memang Allah ingin menjelaskan
tentang nikah mut’ah pada ayat 4:24, maka tentunya penjelasan mahar ini adalah
untuk masalah yang baru. Hal ini dapat dilihat dari kata yang digunakan oleh
Allah Swt pada ayat tentang nikah mut’ah (4:24) yang diambil dari turunan akar
kata “mut’ah” yang jelas berbeda dengan kata-kata yang
digunakan pada ayat yang lain di dalam surat An-Nisa.
“ …(Kecuali
perempuan-perempuan yang diharamkan bagimu untuk menikahinya) Dan dihalalkan
bagi kamu untuk mencari istri-istri
dengan hartamu untuk dikawini demi melindungi dirimu (dari dosa), bukan
untuk berzina. Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian,
maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah
dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya (untuk
memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yang pertama).
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.” (4:24)
Dengan demikian, Allah menjelaskan jenis-jenis
pernikahan yang berbeda-beda itu dengan membagi penjelasan dalam tiga bagian di
dalam surat An-Nisa’. Bagian pertama menjelaskan tentang nikah da’im pada ayat
sebelum 4:24, bagian kedua tentang pernikahan mut’ah pada ayat 4:24, serta
bagian ketiga tentang pernikahan dengan budak perempuan pada ayat 4:25.
Allah Swt berfirman: “Dan barangsiapa diantara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan
merdeka dan beriman, maka ia boleh perempuan mengawini beriman dari budak-budak
yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu, sebagian kamu dari sebagian yang
lainnya; karena itu kawinilah mereka
(budak-budak itu) dengan seizin tuan mereka dan berilah mahar kepada mereka
dengan cara yang pantas sedang merekapun adalah perempuan-perempuan yang
memelihara dirinya, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil
laki-laki sebagai peliharaannya. Dan
apabila mereka telah menjaga dirinya melalui pernikahan, tetapi kemudian
megerjakan perbuatan keji (zina), maka
hukumannya adalah setengan dari hukuman perempuan merdeka yang bersuami. (Kebolehan
menikahi budak-budak perempuan) itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada
kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu
lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (4:25)
Pada ayat
ini Allah menyebutkan mahar yang berhubungan dengan budak perempuan. Dengan
demikian, Allah menyebutkan masalah mahar ini sebanyak tiga kali dalam tiga
bagian ayat-ayat di atas; pertama untuk pernikahan da’im, kedua untuk
pernikahan mut’ah dan terakhir untuk pernikahan dengan budak perempuan.
Sekali
lagi, untuk mempertegas bahwa ayat 4:24 diturunkan sehubungan dengan nikah
mut’ah, maka kami menunjukkan beberapa hadits lagi dari mufassir Sunni. Tabari
meyebutkan bahwa Mujahid RA mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘maka istri-istri yang yang telah kamu
nikmati (istamta’tum) setelah suatu
perjanjian’ dalam ayat (4:24) adalah nikah mut’ah.” Referensi Sunni: Tafsir
At-Tabari oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal.
176, Hadits 9034.
Bahkan, di dalam banyak tafsir Sunni yang lain,
disebutkan hadits yang sama dengan yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari
(lihat Bagian Kedua) dengan penjelasan yang lebih terinci ketika menjelaskan
tentang ayat 4:24. Imran Ibn Husain menceritakan: “Ayat 4:24 tentang nikah
mut’ah telah diturunkan oleh Allah di dalam Alqur’an, dan tidak ada satupun
ayat yang diturunkan untuk me-mansukh-kannya; bahkan, Rasulullah Saww menyuruh
kami melakukan nikah mut’ah sehingga kamipun
melakukannya pada zaman Rasulullah masih hidup dan tidak pernah
sekalipun Rasulullah melarangnya sampai Beliau meninggal. Tetapi, seseorang
(yang telah melarang nikah mut’ah) menunjukkan keinginannya sendiri.” Silahkan
lihat dalam beberapa referensi Sunni:
1.
Tafsir al-Kabir, oleh al-Tsa’labi,
komentar tentang ayat 4:24.
2.
Tafsir al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi,
komentar tentang ayat 4:24, V3, hal. 200 dan 202
3.
Tafsir Ibn Hayyan, V3, hal. 218,
komentar tentang ayat 4:24
4.
Tafsir al-Nisaburi, oleh
al-Nisaburi (abad kedelapan)
Karena itu
sangat jelas bahwa, Imran Ibn Husain membicarakan masalah nikah mut’ah dalam
kutipan ini. Jika tidak, tidak mungkin para mufassir Sunni tersebut menempatkan
riwayat ini pada penjelasan mereka tentang ayat 4:24. Beberapa hadits yang
lainpun, dapat pula dijadikan bukti-bukti bahwa ayat 4:24 menjelaskan tentang
nikah mut’ah.
Di dalam
banyak tafsir Sunni, kalimat “untuk waktu
yang tertentu” telah ditambahkan pada ayat 4:24 setelah kata “istamta’tum” sehingga ayat itu terbaca
‘maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian untuk waktu yang tertentu.”
Kalimat
ini haruslah diartikan sebagai tafsiran terhadap ayat Alqur’an, bukan bagian
dari ayat tersebut. Seperti yang kita ketahui, banyak ayat-ayat Allah yang
diturunkan tetapi tidak dimasukkan ke dalam Alqur’an karena ayat-ayat tersebut
hanyalah penjelasan dan bukan merupakan bagian dari Alquran itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui bahwa hadits Qudsi juga merupakan firman Allah tetapi
bukan bagian dari Alquran. Bahkan Alqur’an sendiri mengatakan bahwa semua
perkataan Rasulullah Saww adalah wahyu. Allah berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) itu menuruti kemauan hawa
nafsunya sendiri. Ucapannya itu tiada lain kecuali apa yang telah diwahyukan
(Allah) kepadanya” (53:3-4)
Oleh
karena itu, semua perkataan Rasulullah Saww adalah wahyu dan pasti tidak bertentangan
dengan Alqur’an. Hal itu juga mencakup penjelasan Beliau tentang Alqur’an dan
sunnah Beliau. Sekarang kita lihat kembali hadits yang ingin kami tunjukkan.
Diceritakan
bahwa Abu Nadhra berkata: “Ibn Abbas (RA) membaca ayat 4:24 dengan tambahan kalimat
‘untuk waktu yang tertentu.’ Saya kemudian bertanya padanya: ’Saya tidak
membaca ayat itu seperti kamu membacanya.’ Ibn Abbas menjawab: ‘Saya bersumpah
dengan nama Allah, seperti inilah Allah menurunkannya’ dan Ibn Abbas mengulangi
pernyataannya tiga kali.” Lihat dalam referensi Sunni:
1.
Tafsir al-Kabir, oleh Ibn Jarir
al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 177, Hadits 9038
2.
Tafsir al-Kabir, oleh al-Tsa’labi,
komentar tentang ayat 4:24 yang sama
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jubair.
Dan juga
Abu Nadhra mengatakan: “Saya menanyakan kepada Ibn Abbas tentang nikah mut’ah
kemudian Ibn Abbas menjelaskan: ‘Pernahkah kamu membaca ayat: ….Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (istamta’tum) dengan perjanjian dalam suatu waktu
tertentu…’ Maka saya berkata: ‘Jika sekiranya saya membaca seperti caramu,
maka pasti saya tidak menanyakannya lagi kepadamu.’ Kemudian Ibn Abbas berkata
: ‘Memang ayat itu untuk menjelaskan tentang nikah mut’ah’“. Lihat referensi
Sunni dalam al-Kabir oleh Ibn Jarir al-Tabari pada komentar tentang ayat
4:24, V8, hal. 177, Hadits 9036 – 9037.
Dan juga diceritakan bahwa
al-Suddy RA mengatakan: “Ayat yang berbunyi ‘Dan
mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu’
adalah menjelaskan tentang nikah mut’ah, yaitu seorang laki-laki menikahi
seorang perempuan dengan jumlah mahar tertentu untuk suatu waktu yang tertentu
pula dan disaksikan oleh dua orang saksi. Dan jika perempuan itu masih gadis
(perawan), maka laki-laki tesebut harus meminta izin kepada wali perempuan.
Ketika periode pernikahan mereka sudah berakhir, maka mereka secara langsung
akan berpisah tanpa saling mewarisi satu sama lain.” Referensi Sunni adalah Tafsir
al-Kabir oleh Ibn al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 176,
Hadits 9033.
Abu Karib menceritakan
bahwa Yahya berkata: “Saya melihat sebuah buku bersama Nasir yang menuliskan:
’Dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu
tertentu.’” Lihat dalam referensi Sunni:
1.
Tafsir al-Kabir Ibn Jarir al-Tabari pada
ayat 4:24, hal. 176-177, Hadits 9035
2.
Tafsir al-Kabir al-Tsa’labi pada ayat 4:24
yang menceritakan riwayat yang sama dari Abi Thabit.
Salah seorang sahabat
Rasulullah yang lain yakni Ubay Ibn Ka’ab (yang dalam sumber-sumber Sunni
dikatakan bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mempercayainya
karna pemahamannya yang dalam tentang Alqur’an, dimana beliau juga adalah sebagai salah seorang dari tiga orang yang
terpercaya dalam bidang ini, lihat Shahih Bukhari, edisi Bahasa Inggris, V6,
Hadits 521) juga menambahkan kalimat pada ayat 4:24 seperti penambahan yang
dilakukan oleh Ibn Abbas. Qatadah ra mengatakan: “Ubay ibn Ka’ab membaca ayat
4:24 adalah ‘…. dan mereka yang telah
kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu.’’’ Referensi
Sunni adalah Tafsir al-Kabir Ib Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat
4:24, V8, hal. 178, Hadits 9041.
Di samping beberapa perawi
yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa perawi lain yang dapat
disebutkan seperti Sa’id Ibn Jubair, Abi Ishaq dan Umay yang juga menyebutkan
penambahan kalimat seperti di atas ketika mereka membaca ayat 4:24 ini. Sekali
lagi kami ingin sampaikan bahwa, penambahan ini hanyalah komentar saja dan
bukan bagian dari ayat Alqur’an. Jika seseorang ingin menuliskannya, maka dia
harus meletakkan kalimat tersebut dalam sebuah tanda kurung untuk menunjukkan
bahwa kalimat dalam kurung itu bukanlah bagian dari ayat tersebut. Dalam
beberapa kasus, penambahan ini dapat ditemukan diberbagai sumber baik dari
Syi’ah maupun Sunni. Tetapi harus diingat bahwa, penambahan itu hanyalah
komentar (syarah) saja agar ayat
tersebut lebih mudah dipahami.
Demikianlah kesimpulan
tentang ayat yang menjelaskan tentang nikah mut’ah (4:24) dari berbagai
sumber-sumber Sunni. Pada bagian selanjutnya, Insya Allah akan dijelaskan
kumpulan sumber-sumber hadits Sunni yang lain yang berhubungan dengan nikah
mut’ah ini.
Bagian kedua
Bukti-bukti Dari kitab
Hadits Sunni
Setelah melihat sekilas
pada beberapa kitab Tafsir di bagian pertama, sekarang marilah kita
memperhatikan sumber lain dari kumpulan kitab hadits Sunni. Di dalam Sahih
Muslim diceritakan, Jabir Ibn Abdullah dan Salama Ibn al-Akwa’ mengatakan:
“Telah datang kepada kami pesan Rasulullah” lalu mereka melanjutkan:
“Rasulullah Saww telah membolehkan sesuatu untuk menyenangkan kalian (istamta’u) dengan melakukan nikah
mut’ah.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
Bagian DXLI ( Judul : Temporary Marriage), Hadits 3246
2.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Arab, 1980,
Terbitan Saudi Arabia, V2, hal. 1022, Hadits 13, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah
al-Mut’ah”
Pada
hadits tersebut, kata istamta’tum
(menikmati, bersenang-senang) digunakan sesuai dengan bentuk katanya yang
digunakan di dalam ayat 4:24 dan bahkan Jabir sendiri mengatakan dalam hadits tersebut bahwa kata
istamta’a berarti menikah mut’ah dengan perempuan. Dengan jalur yang sama juga
diceritakan bahwa Salama Ibn al-Akwa dan Jabir Ibn Abdullah mengatakan:
“Rasulullah Saww datang kepada kami dan mengizinkan kami untuk melakukan nikah
mut’ah.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
Bagian DXLI ( Judul: Temporary Marriage), Hadits 3247
2.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Arab, 1980,
Terbitan Saudi Arabia, V2, hal. 1022, Hadits 14, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah
al-Mut’ah”
Dengan
jalur dari sahabat Rasulullah yang lain, Bukhari menceritakan hadits berikut.
Disampaikan oleh Imran Ibn Husain bahwa: “Ayat tentang mut’ah telah diturunkan
oleh Allah di dalam Alqur’an sehingga kami melakukannya di zaman Rasulullah;
dan setelahnya, tak ada satu ayatpun yang melarangnya bahkan Rasulullah sendiri
tidak pernah melarangnya hingga akhir hayatnya. Tetapi seseorang (yang melarangnya) telah menunjukkan
keinginannya sendiri.” (Catatan: Untuk
hadits ini, penerjemah Sahih Bukhari ke dalam Bahasa Inggris dari Saudi
(Muhammad Muhsin Khan) telah mengganti
kata “mut’ah” menjadi “hajj-at-tamattu’”. Padahal, teks bahasa
Arab yang terletak di samping terjemahan bahasa Inggrisnya, kata “mut’ah” tetap
digunakan). Lihat dalam sumber Sunni:
1.
Sahih Bukhari, Terjemahan Arab-Inggris, V6,
Hadits 43
2.
Sahih Bukhari, versi bahasa Arab, V2, hal.
375; V6, hal. 34
3.
Musnad Ahmad Ibn Hambal, V4, hal. 436
berdasarkan otoritas ‘Imran Ibn al-Qasir.
Seperti yang telah kami sebutkan
sebelumnya bahwa “Mut’ah” terdiri dari dua jenis yaitu nikah mut’ah dan mut’ah
al-hajj (haji tamattu’). Kedua jenis “mut’ah” ini dipraktekkan pada zaman
Rasulullah, zaman Abu Bakar, dan sebagian masa awal pemerintahan Umar ibn
Khattab. Tetapi kemudian kedua jenis “mut’ah” ini dilarang oleh Umar. Sehingga
secara sederhana dapat disimpulkan bahwa hadits Bukhari di atas merujuk pada
“mut’ah” yang dilarang oleh Umar. Dalam
bagian pertama telah ditunjukkan, banyak mufassir Sunni yang mengutip hadits dari
‘Imran ibn Husain ini ketika mengomentari ayat 4:24 untuk menunjukkan bahwa
ayat ini adalah ayat yang menjelaskan tentang nikah mut’ah.
Menarik
untuk diketahui bahwa di dalam Sahih Muslim, seperti halnya komentar di dalam
Sahih Bukhari, dikatakan bahwa yang
dimaksud “seseorang” dalam hadits di atas (“tetapi seseorang telah menunjukkan
keinginannya sendiri”) adalah Umar. Di Sahih Muslim dikatakan: “Seseorang yang
dikatakan ingin menunjukkan keinginannya sendiri itu adalah Umar.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
Bagian CDXLII, Hadits 2825
2.
Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980,
Terbitan Arab Saudi, V2, hal. 898, Hadits 166
Sumber
lain juga menyebutkan: “Dan seseorang
yang dimaksud dalam hadits ini adalah Khalifah Umar Ibn al-Khattab.” Lihat
dalam sumber Sunni:
1.
Fath al-Bari fi Syarh Sahih Bukhari oleh Ibn
Hajar Asqalani, V4, hal. 177
2.
Syarh al-Nawawi untuk Sahih Muslim,
V3, hal. 364, Terbitan Dar al-Shahab.
Alasan
yang dapat disebutkan bahwa pada hadits di atas Imran Ibn Husain tidak berani menyebutkan nama Umar adalah karena
beliau tahu benar karakter Umar yang kurang baik, apalagi Umar sendiri pernah
berjanji akan merajam siapapun yang melakukan nikah mut’ah.
Di dalam
Sahih Muslim juga diceritakan bahwa Abu Nadhra mengatakan: “Ibn Abbas
memperbolehkan nikah mut’ah meskipun Ibn Zubair melarangnya. Saya kemudian
melaporkan hal ini kepada Ibn Zubair dan dia mengatakan: ‘Saya adalah salah
satu dari saksi dari hadits berikut. Kami telah melakukan nikah mut’ah dan haji
tamattu pada zaman Rasulullah. Dan ketika Umar menjadi khalifah, dia telah
mengatakan: “Sesungguhnya Allah memperbolehkan kepada RasulNya apa yang Allah
inginkan dengan cara yang diridhaiNya. Seluruh perintah Allah telah diturunkan
di dalam Alqur’an. Karena itu, lakukanlah haji dan umrah atas nama Allah dengan
cara yang telah diajarkan Allah padamu, dan sempurnakanlah pernikahan kalian
(menjadi nikah da’im ) dengan perempuan yang kalian telah menikah mut’ah
dengannya. Dan siapapun yang datang kepadaku dengan melakukan nikah mut’ah,
maka saya akan menghukumnya dengan rajam.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
Bagian CDXLII, Hadits 2801
2.
Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980,
Terbitan Arab Saudi, V2, hal. 885, Hadits 145
Sekali
lagi, hadits di atas telah menyebutkan dua jenis mut’ah, dan kita lihat bahwa
Umar mengatakan Allah telah memperbolehkan apa yang diinginkanNya kepada
Rasulullah dan perintah tersebut diturunkan oleh Allah di dalam Alqur’an,
tetapi kemudian dia (Umar) akan menghukum sendiri siapapun yang melakukan nikah mut’ah.
Melalui
jalur yang lain, Muslim dan Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah
Ibn Mas’ud. Diceritakan oleh Ibn Mas’ud: “Kami telah mengikuti Rasulullah dalam
beberapa perang suci sedangkan kami tidak memiliki apa-apa (tidak membawa
istri). Lalu kepada Rasulullah kami bertanya: ‘Haruskah kami mengebiri diri
sendiri?’. Rasulullah kemudian melarang kami (untuk mengebiri diri sendiri) dan
memperbolehkan kami untuk melakukan nikah mut’ah sambil mengutip sebuah ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah kepadaMu dan
janganlah kamu melakukan hal-hal yang
melampaui batas. (5:87)’.“ Lihat dalam referensi Sunni:
1.
Sahih Bukhari, Terjemahan Arab-Inggris, V7,
Hadits 13a
2.
Sahih Bukhari, versi bahasa Arab, V6, hal.
11, tafsir tentang ayat 5:87
3.
Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980,
Terbitan Arab Saudi, V2, hal. 1022, Hadits 11, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah
al-Mut’ah”
4.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3243
Setelah hadits tersebut di
atas, di dalam Sahih Muslim dilanjutkan dengan penjelasan: “Hadits ini telah
diceritakan oleh Isma’il dengan jalur yang sama dengan perawi yang lain (tetapi
dengan kalimat): “Kami merasa masih muda sehingga kami mengadu kepada
Rasulullah: ‘Ya Rasulullah, apakah kami harus mengebiri diri kami sendiri?’”,
tetapi perawi ini tidak menyebutkan apakah mereka sedang dalam perjalanan
(peperangan) atau tidak.” Silahkan merujuk pada sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan
Arab Saudi, V2, hal. 1022, Hadits 12, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”
2.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3245
Satu hal
yang harus digaris bawahi di sini adalah, berdasarkan hadits yang sahih di
atas, masturbasi itu diharamkan. Jika tidak, Rasulullah pasti menganjurkan para
sahabat untuk melakukan masturbasi dan bukan melakukan nikah mut’ah. Tetapi
ternyata, saran Rasulullah di atas menunjukkan bahwa jika seseorang sangat
rentan terhadap perzinaan, maka sebaiknya dia melakukan nikah mut’ah, bukan
masturbasi. Karena, pelarangan masturbasipun juga telah dinyatakan pada salah
satu ayat di dalam Alqur’an yang akan didiskusikan pada bagian kelima nanti.
Beberapa orang berpendapat bahwa Rasulullah memang
pernah memperbolehkan nikah mut’ah pada beberapa perjalanan dan masa perang,
tetapi beliau telah melarangnya pada hari penaklukan Makkah. Pernyataan ini
justru bertentangan dengan apa yang telah kita lihat dari riwayat beberapa
sahabat yang mengatakan bahwa mereka tetap melakukan nikah mut’ah dari zaman
Rasulullah sampai masa awal pemerintahan Umar, bahkan ada di antara sahabat
yang tetap melakukannya sepeninggal Umar. Jika memang nikah mut’ah hanya
diperbolehkan dalam perang dan perjalanan, maka pastilah Rasulullah menjelaskan
persyaratan itu pada saat Rasulullah memperbolehkannya. Para sahabat, seperti
dalam riwayat-riwayat yang telah dikutip sebelumnya, bukan hanya melakukan
nikah mut’ah dalam perjalanan dan perang saja. Di samping itu, tidak ada satupun
ayat di dalam Alqur’an yang yang
membatasi nikah mut’ah hanya ketika kita dalam perjalanan ataupun perang. Hal
ini memberikan suatu keyakinan bahwa pernyataan yang membatasi nikah mut’ah
hanya untuk kondisi seperti yang disebutkan di atas hanyalah untuk membenarkan keadaan sekarang yang telah
berlangsung lama (dimana nikah mut’ah dilarang menurut mazhab Sunni, pent.).
Seperti yang akan kita lihat pada bagian selanjutnya, para sahabat mendukung
pelaksanaan nikah mut’ah tanpa menyebutkan syarat keharusan dalam perang.
Mereka tidak menyebutkan bahwa mereka melakukan nikah mut’ah hanya ketika
mereka dalam perjalanan dan perang.
Di samping
itu, seperti yang telah dikutip sebelumnya, Sahih Muslim memuat banyak riwayat
yang disampaikan melalui jalur sahabat yang terpercaya seperti Jabir Ibn
Abdillah al-Ansari. Salah satu contohnya adalah riwayat berikut.
Diriwayatkan
oleh Abu Nadhra: “Ketika saya sedang bersama-sama dengan Jabir Ibn Abdullah,
seseorang datang kepada kami dan menyampaikan bahwa Ibn Abbas dan Ibn Zubair
berbeda pendapat tentang nikah mut’a dan haji tamattu. Kemudian Ibn Jabir
berkata: ‘Kami melakukan nikah mut’ah dan haji tamattu pada zaman Rasulullah
Saww. Ketika Umar melarang kami, maka kamipun tidak pernah melakukannya lagi’.”
Lihat dalam sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980,
Terbitan Arab Saudi, V2, hal. 1023, Hadits 17; juga pada V2, hal. 914, Hadits
1249
2.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3250
Sekali
lagi riwayat di atas menegaskan bahwa Umar-lah yang telah melarang nikah mut’ah
dan haji tamattu’ sehingga banyak orang yang tidak melakukannya lagi,
setidaknya secara terang-terangan karena Umar telah mengancam akan merajam
siapapun yang melakukan nikah mut’ah. Berikut ini ada sebuah hadits lagi.
Diriwayatkan bahwa Jabir Ibn Abdullah mengatakan: “Kami telah melakukan nikah
mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau gandum pada zaman Rasulullah dan Abu
Bakar, sampai akhirnya Umar melarang kami melakukannya karena kasus Amr Ibn Huraits.”
Lihat dalam sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980,
Terbitan Arab Saudi, V2, hal. 1023, Hadits 16, “Kitab al-Nikah, Bab al-Nikah
al-Mut’ah”
2.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3249
Sekali
lagi, dalam teks bahasa Arab hadits tersebut, kata “istamta’a” digunakan persis dalam ayat 4:24. Seperti yang telah
kita lihat, tidak ada pembatasan apapun bahwa nikah mut’ah hanya diperbolehkan
dalam peperangan saja. Nikah mut’ah ini telah banyak dipraktekkan di zaman
Rasulullah dan khalifah setelahnya. Seperti juga yang diriwayatkan oleh Ibn
Juraih bahwa Ata’ mengatakan: “Jabir Ibn Abdullah sedang melakukan umrah lalu
kami mendatanginya. Orang-orangpun menanyainya berbagai persoalan sampai ke
persoalan nikah mut’ah. Ibn Abdullah berkata: ‘Ya, kami telah melindungi diri
dengan melakukan nikah mut’ah pada zaman Rasulullah, zaman Abu Bakar dan
Umar.’“ Silahkan merujuk pada sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980,
Terbitan Arab Saudi, V2, hal. 1023, Hadits 15, “Kitab al-Nikah, Bab al-Nikah
al-Mut’ah”
2.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3248
Pada
hadits ini kita lihat kembali bahwa kata
“istamta’a” juga digunakan kembali
seperti pada ayat 4:24.
Salah
seorang sahabat yang juga menentang pelarangan nikah mut’ah oleh Umar adalah
Abdullah Ibn Abbas. Di dalam Sahihnya, Bukhari menuliskan riwayat Abu Jamra
bahwa beliau berkata: “Saya telah
mendengar Ibn Abbas (mengeluarkan sebuah fatwa) ketika ditanyai tentang nikah
mut’ah dan dia sendiri membolehkannya. Pada saat itu salah seorang budaknya
yang telah dimerdekakan menimpali: ‘Hal itu dapat dilakukan dalam kondisi yang
sangat mendesak dan kita susah mendapatkan perempuan yang cukup baik untuk
dinikahi secara da’im, ataupun jika kita mengalami kondisi yang serupa.’ Ibn Abbas berkata : ‘Ya
!!’ “ Lihat dalam sumber Sunni: Sahih Bukhari, Terjemahan Arab-Inggris, V7,
Hadits 51.
Apakah
kita melihat pembatasan nikah mut’ah hanya dalam keadaan perang saja dalam
hadits ini? Jika sekiranya Ibn Abbas berpendapat sama dengan sahabat yang lain
bahwa Rasulullah melarang nikah mut’ah di akhir hayatnya, pastilah Ibn Abbas
tidak akan memberikan pendapatnya sendiri. Ibn Abbas melakukan keberanian ini
karena yakin bahwa pelarangan itu adalah salah dan hanya untuk membernarkan
pendapat Umar sendiri. Muslim sendiri dalam Sahihnya menuliskan sebuah riwayat
Urwa Ibn Zubair yang melaporkan bahwa Abdullah Ibn Zubair suatu waktu berdiri
di depan orang banyak di Makkah, dengan menyinggung seseorang yang sudah buta
(yaitu Ibn Abbas), dia kemudian menyampaikan khotbahnya: “Allah telah
membutakan hati sebagian hambaNya sebagaimana Allah telah membutakan matanya
disebabkan mereka memberikan fatwa untuk membolehkan nikah mut’ah.” Mendengar
isi khotbah tersebut, Ibn Abbas lalu menemuinya dan berkata: “Kamu sungguh
kasar dan tidak punya perasaan. Demi hidupku, sesungguhnya nikah mut’ah telah
dilakukan di zaman pemimpin yang adil (Rasulullah Saww).” Ibn Zubair berkata
kepada Ibn Abbas: “Lakukanlah sendiri. Demi Allah, jika kamu melakukannya, maka
saya akan merajammu dengan batumu sendiri.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980,
Terbitan Arab Saudi, V2, hal. 1026, Hadits 27, “Kitab al-Nikah, Bab al-Nikah
al-Mut’ah”
2.
Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2,
bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3261
Apakah Ibn
Abbas mengatakan bahwa pembolehan mut’ah hanya dalam peperangan saja? Tentu
tidak. Hal inilah yang menjadi alasan mazhab Sunni untuk membenarkan pendapat
Umar. Pada riwayat di atas, Ibn Zubair menghina Ibn Abbas dengan mengatakan
bahwa hatinya telah dibutakan oleh Allah, hanya karena Ibn Abbas percaya bahwa
nikah mut’ah seharusnya dianjurkan karena merupakan bagian dari sunnah
Rasulullah Saww. Ibn Zubair sendiri lupa bahwa dia lahir dari pernikahan mut’ah
(Lihat Sahih Muslim, V1, hal. 354; al-Iqd al-Fariid, V2, hal. 139).
(Yang lucu adalah) bahwa Ibn Zubair mengancam akan merajam Ibn Abbas meskipun
dia tahu bahwa Ibn Abbas adalah seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka.
Seolah-olah Ibn Zubair ingin mengajari Ibn Abbas tentang ilmu agama, padahal
(semua mutarikh melaporkan bahwa) Ibn Zubair telah memerangi Imam ‘Ali dan Ibn
Abbas pada perang Jamal, bahkan dalam perang itu dia telah menumpahkan darah
kaum muslimin yang tidak berdosa.
Di dalam
Sahih Muslim juga diceritakan bahwa Muslim al-Qurri berkata: “Saya bertanya
kepada Ibn Abbas tentang mut’ah dan dia membolehkannya meskipun Ibn Zubair
melarangnya. Ibn Abbas berkata: ‘Ibu Ibn Zubair sendiri yang mengatakan bahwa
Rasulullah membolehkan mut’ah, mungkin lebih baik kamu langsung bertanya
kepadanya masalah ini.’“ Al-Qurri selanjutnya berkata: “Lalu kami pergi menemui
ibu Ibn Zubair dan saat itu beliau sudah buta. Beliau berkata: ‘Memang
Rasulullah membolehkannya.’“ Sumber Sunni adalah Sahih Muslim, edisi bahasa
Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, hal. 909, Hadits 194-195. Pada hadits ke
195 di edisi ini dijelaskan: “Perawi menggunakan kata mut’ah dan bukan kata
yang lain, saya tidak tahu apakah kata itu merujuk pada haji tamattu’ atau
nikah mut’ah.” Namun, kita telah mengetahui dengan jelas bahwa mut’ah yang
dilarang oleh Ibn Zubair adalah nikah mut’ah seperti yang tercantum dalam
hadits tersebut.
Meskipun
Umar telah meninggal, bahkan setelah kematian khalifah Usman, masih banyak
sahabat yang tidak menerima perintah Umar dalam pelarangan nikah mut’ah dan
menganggap nikah mut’ah dihalalkan. Pendapat ini juga tidak pernah menyebutkan
pembatasan nikah mut’ah hanya dalam perang saja. Bahkan beberapa sahabat percaya bahwa ada seorang sahabat
yang melakukan nikah mut’ah dengan salah seorang putri Umar sendiri, sehingga
karena hal inilah, Umar kemudian melarang nikah mut’ah seperti yang
dikatakannya sendiri.
Sebelumnya
kami ingin menjelaskan bahwa kami bukanlah membenci Umar. Kamipun mempercayai
bahwa dia adalah salah seorang sahabat Rasulullah, tetapi kami tidak menilainya
berlebihan terutama ketika dia banyak melakukan perubahan-perubahan berdasarkan
ijtihadnya sendiri seperti yang kita saksikan dalam banyak riwayat sebelumnya.
Kami sendiri mempercayai bahwa fatwa tidak akan berguna jika fatwa tersebut
bertentangan secara eksplisit dengan ayat Alqur’an dan hadits Rasulullah.
Pelarangan nikah mut’ah (oleh Umar, pent.) adalah salah satu contohnya. Bahkan
menurut Sahih Bukhari, Umar juga terang-terangan mengakui bahwa dia telah membuat perubahan di
dalam shalat dan dengan bangga berkata: “Sungguh sebuah perubahan yang baik (bid’atul hasanah).” (Lihat Sahih
Bukhari, Terjemahan Arab-Inggris, V3, hal. 227). Umar juga melakukan beberapa
perubahan dalam tata cara tayammum dan aturan-aturan lainnya.
Bukti-bukti
Dari Kitab
Tarikh
Sunni
Setelah melihat beberapa
tafsir dan hadits tentang nikah mut’ah, sekarang marilah kita merujuk kepada
beberapa sumber mazhab Sunni yang lain.
Sebuah
riwayat dari Imam ‘Ali yang telah disebutkan sebelumnya, juga banyak dimuat di
dalam kitab-kitab Sunni yang lain dengan sedikit perbedaan kalimat. Salah satu
perbedaan itu adalah penggunaan kata “shafa” yang berarti “hanya sedikit” dan
kata “shaqi” yang berarti “laki-laki
yang senang main perempuan.”
‘Ali RA
berkata: “Mut’ah adalah salah satu berkah dari Allah kepada hambaNya. Jika
sekiranya Umar tidak melarangnya, maka tak akan ada seorangpun yang melakukan
perzinahan kecuali shaqi (atau shafa).” Silahkan merujuk pada beberapa
kitab dari sumber-sumber Sunni sebagai berikut:
1.
Bidayat al-Mujtahid oleh Ibn
Rusyd, V2, hal. 58
2.
Al-Nihayah oleh Ibn al-Athir,
V2, hal. 249
3.
Al-Faiq oleh al-Zamakhsyari,
V1, hal. 331
4.
Lisan al-Arab oleh Ibn Mandhur,
V19, hal. 166
5.
Taj al-Arus, V10, hal. 200
6.
Fath al-Bari, V9, hal. 141
7.
Kanz al-Ummah oleh al-Muttaqi
al-Hindi, V8, hal. 293
8.
Al-Iqd al-Farid, V2, hal. 139
9.
Umadat al-Qari, oleh al-‘Ayni, V8,
hal. 130, (yang melaporkan bahwa mut’ah dihalalkan pada zaman Rasulullah, Abu
Bakar dan awal pemerintahan Umar)
Hafidh al-Jalaluddin
al-Suyuti juga menuliskan tentang Umar sebagai berikut: “Dia (Umar) adalah
orang pertama yang mengharamkan mut’ah.” Hal ini dikatakan dalam kitab Tarikh
al-Khulafa, hal. 136.
Demikian
juga al-Qastalani. Di dalam kitabnya, al-Irsyad, V4, hal. 169,
al-Qastalani menuliskan: “Kalimat yang menyebutkan ‘tetapi seseorang menyatakan pendapatnya sesuai dengan
keinginannya sendiri’ (seperti yang disebutkan dalam sumber Sunni misalnya Shahih Bukhari)
menunjuk kepada Umar bin Khattab dan bukan Usman bin Affan, karena Umarlah yang
pertama kali melarang nikah mut’ah. Sehingga, orang yang menggantikannya
(Usman) hanya mengikuti pendapat Umar saja.”
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Ibn Abbas
tetap memperbolehkan nikah mut’ah sampai terjadinya perang Jamal (perang yang
terjadi di zaman kepemimpinan Imam ‘Ali) bahkan sampai kedua matanya menjadi
buta. Marilah kita lihat sebuah hadits yang menarik yang diriwayatkan oleh Ibn
Abi al-Hadid. Hadits ini telah dimuat secara ringkas dalam Sahih Muslim
(seperti yang dikutip pada bagian kedua), tapi pada kutipan ini akan dituliskan
secara detail termasuk peristiwa yang berhubungan dengan perang antara Aisyah
dan Imam ‘Ali as. Dalam riwayat ini, Ibn Abbas dikenal dengan jawabannya yang
sangat memuaskan. Adapun riwayat itu secara lengkapnya adalah sebagai berikut.
“Ibn
Zubair memberikan sebuah ceramah di atas sebuah mimbar di Makkah. Dia
mengatakan: ‘Di antara kalian, terdapat seseorang yang telah dibutakan mata
hatinya oleh Allah sebagaimana Allah telah membutakan kedua matanya (yang
dimaksud adalah Ibn Abbas yang saat itu telah buta kedua matanya). Dia mengira
bahwa Allah dan RasulNya telah memperbolehkan nikah mut’ah, dia mengeluarkan
fatwa untuk setiap permasalahan, dan mencuri perbendaharaan Basrah beberapa
waktu yang lalu dan menyebabkan masyarakat Basrah mengalami krisis
perekonomian. Bagaimana saya harus menyalahkannya ketika dia melawan Ummul
mukminin ‘Aisyah dan para sahabat Rasulullah dalam peperangan (perang Jamal,
pent.)?’ Mendengar hal itu, Ibn Abbas meminta kepada Sa’ad Ibn Khuthaimah untuk
mengantarkannya ke depan Ibn Zubair (karena kedua matanya sudah buta). Setelah
berada di depan Ibn Zubair, Ibn Abbas berkata: ‘Wahai Ibn Zubair, untuk
kebutaan saya, sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Alqur’an: ‘…Karna sesungguhnya bukanlah mata itu yang
buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada (22:46)’. Untuk
pendapat saya tentang ayat-ayat Allah yang saya sampaikan, hal itu karena
banyaknya alasan tentangnya yang kamu dan teman-temanmu tidak mengetahuinya.
Dan untuk perbendaharaan masyarakat Basrah, uang itu adalah milik orang-orang
yang berhak yang telah dikumpulkan tetapi diambil oleh penguasa, maka kami
mengambilnya dan kemudian membagikannya kepada orang-orang yang berhak tersebut
secara adil. Tentang nikah mut’ah, lebih baik kamu menanyakannya sendiri kepada
ibumu sendiri, Asma’. (Ibn Zubair lahir dari hasil pernikahan mut'ah antara
Asma’ Binti Abu Bakar dengan Zubair) Dan menyangkut perlawanan kami kepada
ummul mukminin ‘Aisyah, kata mukminin itu sendiri merujuk kepada kami dan bukan kepada kamu dan bapakmu
(yaitu kamilah yang disebut mukminin). Bapakmu (Zubair) dan pamanmu (Thalhah)
telah menghancurkan perlindungan Allah yang telah diberikan kepada Ummu ‘Aisyah
dengan fitnah yang melibatkannya dalam peperangan, sementara mereka
meninggalkan istri mereka sendiri di rumah. Mereka sungguh telah menzalimi
Allah dan RasulNya dengan hanya menjaga istri mereka sendiri tetapi
menelantarkan istri Rasulullah. Dan tentang perlawanan kami kepada kalian (pada
perang Jamal), kamilah yang datang pada kalian. Jika kami adalah kaum kafir,
maka kalian akan menjadi kafir pula karena melarikan diri (setelah kalah dimedan
perang) dari peperangan melawan kaum kafir; tetapi jika kami adalah orang
beriman, maka kalian adalah kaum kafir karena telah menghembuskan peperangan
kepada kami. Seandainya jika seorang perempuan tidak bersama kalian saat itu
(A’isyah, pent.), maka saya tidak akan pernah membiarkan tulangku tertinggal di
tengah orang-orangmu kecuali saya sendiri telah hancur. (saya tidak akan pernah
menyerah kecuali syahid, pent.)’
Ketika Ibn Zubair pergi
menemui ibunya dan menanyakan tentang nikah mut’ah, ibunya berkata: ‘Bukankah
saya telah melarangmu untuk menentang Ibn Abbas dan Bani Hasyim (keluarga
Rasulullah) karena mereka dapat menjawab semua pertanyaan? Oh anakku,
hindarilah orang buta itu karena tak ada manusia maupun jin yang dapat
mengalahkannya.’“ Lihat dalam sumber Sunni Syarah Ibn Abi al-Hadid, V4, hal.
489-490.
Juga dilaporkan bahwa Yahya
Ibn Aktham pernah menanyai seorang syaikh dari Basrah: “Mengapa anda
membolehkan nikah mut’ah?” Syaikh itu menjawab: “Karena Umar.” Yahya menjadi
heran dan bertanya lagi: “Bagaimana mungkin? Bukankah Umar paling dikenal
menentangnya?” Syaikh itu kemudian menjelaskan: “Ya, sebuah riwayat telah
menceritakan bahwa Umar pernah berpidato di atas mimbar dan berkata: ‘Allah dan
RasulNya telah membolehkan dua mut’ah, tetapi saya telah melarang keduanya dan
akan menghukum siapapun yang melakukannya’. Kami menerima kesaksian Umar tetapi
menolak pelarangannya.” Sumber Sunni: al-Muhadhirat oleh al-Raghib
al-Isbahani, V2, hal. 94.
Dua pendiri mazhab Sunni
yang terkenal yaitu Malik Ibn Anas dan al-Syafi’ii, seperti halnya tokoh-tokoh
tradisional lainnya, telah melaporkan riwayat berikut dengan jalur perawi yang
dapat dipercaya. Dikatakan bahwa Urwah Ibn Zubair menceritakan, suatu waktu
Khulah Binti Hakim datang menemui Umar dan melaporkan bahwa Rabi’ah Ibn Umayyah
telah melakukan nikah mut’ah dengan seorang perempuan dan perempuan itupun
hamil. Mendengar itu Umar jadi marah dan berkata: “Tentang nikah mut’ah ini,
seandainya saya telah melarangnya lebih cepat, pasti saya telah menghukumnya.” Lihat
dalam sumber Sunni :
1.
Al-Muwaththa’ oleh Imam Malik pada topik
tentang nikah mut’ah, V2, hal. 30
2.
Kitab al-Am oleh Imam Syafi’ii, V7,
hal. 219
3.
Sunan al-Kubra oleh al-Bayhaqi, V7, hal.
206
Seperti yang juga
dilaporkan, putri Abu Khuthaimah yaitu Ummu Abdillah mengatakan bahwa seorang
laki-laki bujangan dari Syiria datang kepadanya dan meminta: “Saya merasa
tertekan dalam keadaan membujang, karena itu tolong carikan saya seorang
perempuan yang ingin menikah mut’ah dengan saya.” Ummu Abdillah akhirnya menemukan
seorang perempuan dan laki-laki itu menikah mut’ah dengan perempuan tersebut
dihadapan beberapa orang saksi. Mereka tetap bersama sampai periode pernikahan
mereka berakhir. Ketika mengetahui kejadian itu, Umar kemudian memanggil
laki-laki Syiria tersebut dan menanyainya: “Mengapa kalian melakukan nikah
mut’ah itu?” Laki-laki itu menjawab: “Kami melakukan nikah mut’ah pada zaman
Rasulullah dan beliau tidak pernah melarangnya sampai Allah memanggil ruhnya,
kami juga melakukannya di zaman Abu Bakar dan beliau juga tidak pernah
melarangnya sampai beliau meninggal, bahkan kami juga telah melakukannya selama
pemerintahanmu dan kami belum pernah mengetahui pelaranganmu sebelumnya.”
Mendengar itu Umar langsung berkata: “Demi Zat yang jiwaku ada ditanganNya, jika
seandainya saya telah melarangnya secepat mungkin, maka saya akan merajammu
agar kamu bisa membedakan antara pernikahan dan perzinahan.” Kejadian ini
dicatat di dalam kitab Kanz al-Ummah oleh al-Muttaqi al-Hindi, V8, hal.
294 yang melalui al-Tabari.
Bagaimana Umar melarang apa
yang Allah dan RasulNya memperbolehkannya? Bagaimana Umar akan merajam seorang
bujangan yang melakukan nikah mut’ah sementara hukuman orang bujangan (yang
melakukan zina, (kalau mut’ah dianggap perzinahan, pent.)) bukan perajaman?
Semua mazhab Sunni sekalipun tidak melakukan hukuman seperti itu. Keempat
mazhab Sunni hanya mengganjar pelaku nikah mut’ah dengan “ta’zir”, yaitu
hukuman yang lebih ringan dari hukuman orang yang belum kawin dan melakukan
perzinahan.
Apa yang ingin kami
sampaikan dalam masalah ini adalah, berdasarkan pada riwayat-riwayat dari
berbagai sumber dalam mazhab Sunni sendiri, bahwa yang telah melarang nikah
mut’ah adalah Umar sendiri. Jika dia melakukan hal ini sementara Rasulullah
Saww tidak melakukannya, maka dia tidak sepantasnya melakukannya. Riwayat yang
menunjukkan bahwa nikah mut’ah dilarang oleh Umar bertentangan dengan beberapa
riwayat yang menunjukkan bahwa pelarangan nikah mut’ah itu dilakukan oleh
Rasulullah Saww pada waktu yang berbeda-beda. Masalah-masalah kontradiksi ini
akan ditunjukkan pada bagian keempat nanti.
Sekarang pertanyaannya
adalah, apakah yang harus menjadi standar bagi kita? Pendapat siapakah
berdasarkan riwayat-riwayat yang berbeda-beda itu yang harus kita ikuti?
Seperti yang kita ketahui, betapa banyak persoalan di mana para sahabat berbeda
pendapat satu sama lain dalam menafsirkan Alqur’an dan hadits Rasulullah Saww
telah sampai kepada kita dengan cara yang sama. Dalam kasus ini, sebagaimana
dalam setiap permasalahan, kita (pengikut Imam ‘Ali) pasti memilih Imam ‘Ali sebagai rujukan karena beliau adalah yang paling berilmu di
antara semua sahabat Rasulullah Saww. Tidak ada kesalahan sama sekali dalam
perujukan ini, sebagaimana mazhab yang lainpun telah merujuk kepada sahabat
yang lain sesuai dengan keinginan mereka. Kenyataannya adalah, seseorang tidak
mungkin mengikuti semua sahabat pada
saat yang bersamaan mereka berbeda satu sama lain.
Saudara-saudara Sunni kita
menganggap bahwa sebagian besar sahabat mempercayai pelarangan nikah mut’ah
dilakukan setelah penyempurnaan ajaran Islam. Tetapi pernyataan ini tentunya
tidak benar. Kenyataannya, tak seorangpun sahabat yang menyebutkan bahwa nikah
mut’ah itu haram kecuali setelah pelarangan Umar. Sejak saat itulah, baru
sebagian sahabat mengatakan bahwa nikah mut’ah diharamkan.
Tetapi, meskipun sekiranya
sebagian besar sahabat mengatakan suatu hal, bukan berarti bahwa kita wajib
mengikuti mereka dalam masalah itu. Yang harus kita kedepankan tentunya adalah
apa yang dikatakan oleh Allah Swt di dalam Alqur’an dan apa yang telah
disunnahkan oleh Rasulullah Saww. Mazhab Syi’ah sendiri mempercayai keabsahan
ijma’ (kesepakatan mayoritas ulama), tapi kesepakatan itu tidak bisa digunakan
sebagai sumber agama. Ijma’ hanyalah kesepakatan yang dipegang oleh umat Islam.
Dasar tentang ijma’ ini didasarkan pada sunnah Rasulullah sebagaimana yang
disabdakannya: “Ummatku tidak akan bersepakat dalam kemungkaran.”
Sejarah telah mebuktikan,
meskipun sebagian besar kaum muslimin memilih jalan yang salah dalam beberapa
masalah, niscaya akan tetap ada seorang ataupun beberapa orang yang akan
memilih jalan yang benar. Mereka yang sedikit ini mempunyai bukti-bukti lain
yang berdasarkan Alqur’an dan Sunnah Rasulullah menyangkut masalah yang
diperselisihkan tersebut. Hal ini menjelaskan, ijma’ tidak memberikan bobot
apa-apa terhadap pendapat mayoritas, bahkan ijma’ sebenarnya berpihak kepada
pendapat minoritas, karena meskipun hanya ada satu mazhab yang tidak setuju,
maka validitas sebuah ijma’ dianggap batal.
Tidak ada ijma’ menyangkut
nikah mut’ah. Kebanyakan sahabat dan tabi’in tidak setuju dengan pelarangan
yang dilakukan oleh Umar, tetapi hanya sedikit yang berani menyatakannya dengan
terang-terangan. Bahkan, di dalam mazhab Sunni sendiri, ijma’ masalah nikah mut’ah
pun tidak ada. Kami telah menuliskan beberapa nama sahabat dari mazhab Sunni
pada bagian pertama yang mempercayai bahwa mut’ah diperbolehkan. Selain itu,
mazhab Syi’ah sendiri masih mempunyai alasan yang lain untuk mengatakan bahwa
ijma’ mengenai masalah nikah mut’ah (dalam mazhab Sunni) ini tidak dapat
diterima.
Ibn Hazm (w. 456) yang
merupakan salah satu tokoh mazhab Sunni dalam bukunya, Al-Muhalla, telah
menuliskan beberapa nama sahabat Rasulullah Saww dan tabi’in yang mempercayai
bahwa nikah mut’ah adalah halal. Pada bagian kesembilan Al-Muhalla yakni
di bab al-Nikah, Ibn Hazm menjelaskan nikah mut’ah secara terperinci berikut
peraturan-peraturannya. Di antara para sahabat dan tabi’in yang dipercayai
masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal Rasulullah Saww adalah: Imam ‘Ali as,
Abu Dzar, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Zubair Ibn al-Awwam, Imran
Ibn Husain, Abdullah Ibn Umar, Ubay Ibn Ka’ab, Abu Sa’id al-Khudri, Salamah Ibn
Umayyah, Awka’ Ibn Abdillah, Salamah Ibn al-Akwa’, Khalid Ibn Muhajir, ‘Amr Ibn
Huraith, Rabi’a Ibn Umayyah, Suhair, S’id Ibn Jubair Tawus, Qutadah, Mujahid,
Ataa al-Madani al-Suddy, dan Imam al-Hasan as. Riwayat tentang mereka banyak
dituliskan di dalam sumber-sumber Sunni seperti halnya volume pertama Musnad
Ahmad Ibn Hambal.
Untuk memberikan gambaran
yang jelas tentang perbedaan sahabat dalam hal nikah mut’ah ini, marilah kita
lihat Tarikh al-Tabari yang melaporkan bahwa sahabat Rasulullah merasa tidak
senang dengan empat perubahan (bid’ah, pent.) yang telah dilakukan oleh Umar.
Salah seorang sahabat yang berani untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya kepada
Umar adalah Imran Ibn Sawadah. Di dalam kitab ini dilaporkan bahwa meskipun
Umar tidak senang dengan perbuatan Ibn Sawadah (yang melawan Umar, pent.),
tetapi yang mengejutkan adalah Umar sendiri mengakui bahwa nikah mut’ah itu
dibolehkan (halal). Riwayat selengkapnya adalah sebagai berikut.
“Imran Ibn Sawadah
melaporkan: ‘Saya datang menemui Umar di rumahnya untuk memberinya beberapa
nasehat. Mendengar maksud saya, Umar berkata: ‘Saya selalu menerima dengan
ikhlas orang-orang yang ingin memberikan nasehat yang baik.’ Saya berkata:
‘Wahai Umar, masyarakat menilai bahwa anda telah melakukan kesalahan dalam
kebijakan yang telah anda putuskan.’ Umar lalu meletakkan ujung cambuknya pada jenggotnya sementara ujung yang lain
pada pahanya, kemudian dia berkata: ‘Lanjutkan!’ Saya kemudian meneruskan:
‘Kami mendengar bahwa anda telah melarang haji kecil (haji tamattu’) pada bulan
haji….’, Umar menjawab: ‘Itu dibolehkan! (Tetapi alasan pelarangan saya adalah)
jika mereka melakukan haji kecil pada bulan haji, mereka akan menganggap bahwa
haji mereka adalah haji sempurna sehingga mereka tidak akan melakukan haji
sempurna lagi (ke Makkah) padahal hal itu adalah tanda kebesaran Allah. Kamu
benar (bahwa haji tamattu’ dibolehkan)!’. Saya melanjutkan lagi: ‘Kami juga
telah mendengar bahwa anda telah melarang nikah mut’ah meskipun Allah
memperbolehkannya. Kami menikmati nikah
mut’ah ini dengan segenggam kurma (sebagai mahar) dan kami dapat berpisah
setelah tiga malam.’ Umar menjawab: ‘Rasulullah memperbolehkannya pada saat
darurat saja. Saat ini, masyarakat telah hidup dalam kemakmuran. Saya tidak
tahu apakah masih ada orang yang melakukannya (setelah saya melarangnya). Tapi
sekarang, siapapun yang menginginkannya, dapat melakukan nikah mut’ah dengan
segenggam kurma dan dapat berpisah setelah tiga malam. Kamu benar!’. Saya
melanjutkan: ‘Anda memerdekakan seorang budak perempuan jika dia melahirkan
tanpa meminta izin dari majikannya…….. (dan yang keempat adalah) masyarakat
juga mengeluhkan karena banyaknya kata-kata anda yang bertentangan dengan sikap
anda sendiri dan anda memaksakannya dengan kasar.” Riwayat ini dimuat dalam Tarikh
al-Tabari, versi Bahasa English (History of Tabari), V14, hal. 139-140.
Kami benar-benar
terperanjat dengan tulisan ini. Ternyata, Umar sendiri mengatakan bahwa
seseorang dapat melakukan nikah mut’ah kembali. Suatu hal yang menarik adalah,
orang yang berani menyampaikan keluhannya kepada Umar mengatakan “anda melarang
nikah mut’ah padahal kami ‘masih menikmatinya’”. Perhatikan, Ibn Sawadah
menggunakan kata ‘masih menikmatinya’ (enjoy, bentuk sekarang, pent.), bukan
‘sudah menikmatinya’ (enjoyed, bentuk lampau, pent.) yang berarti bahwa ‘yang
terpenting bagi kami adalah perintah Allah dan bukan perintah Umar, oleh karena
itu kami masih tetap melakukannya.’ Ibn Sawadah juga mengatakan bahwa Allah
memperbolehkan nikah mut’ah dan banyak masyarakat yang tidak senang dengan
perubahan yang dilakukan oleh Umar.
Salah satu yang harus
digarisbawahi (dalam berbagai riwayat yang telah dikutip sebelumnya) adalah
bahwa Umar tidak pernah menisbatkan pelarangan nikah mut’ah kepada Rasulullah
Saww. Masalahnya, ada beberapa sahabat yang lain, yang setelah kematian Umar
berusaha untuk tetap membenarkan tindakan Umar, bahkan berusaha menerapkan
tindakan Umar ini di zaman pemerintahan Usman. Kami telah mengutipkan dua
hadits yang berbeda pada bagian pertama bahwa Umar dengan terang-terangan
mengatakan: “mut’ah diperbolehkan pada zaman Rasululullah dan saya
melarangnya.” Jika sekiranya Rasulullah Saww sendiri yang melarang nikah
mut’ah, semestinya Umar mengatakan: “Dua mut’ah dihalalkan pada zaman
Rasulullah tetapi kemudian diharamkan, dan saya menyampaikan kepada kalian
bahwa Rasulullah telah menetapkan hukum yang kedua (pengharaman, pent.) untuk
membatalkan hukum yang pertama (penghalalan, pent.).”
Sampai saat ini, mazhab
Sunni mempercayai bahwa haji mu’tah (haji tamattu’) tetap diperbolehkan dan
Umar telah melakukan kesalahan dengan pelarangan yang dilakukannya. Sekarang
pertanyaan kita adalah, mengapa mazhab Sunni membedakan antara kedua jenis
mut’ah yang keduanya dilarang oleh Umar berdasarkan hadits-hadits dalam Sahih
Bukhari dan Sahih Muslim itu? Jika mazhab Sunni menilai bahwa Umar telah melakukan
kesalahan dalam melarang haji mut’ah, maka semestinya mereka mempunyai pendapat
yang sama dalam pelarangan nikah mut’ah.
Kami hanya ingin
menyampaikan, mazhab Syi’ah (dalam pendapatnya)
mengikuti para Imam Ahlul Bait as dari keturunan Rasulullah Saww. Jika
Rasulullah Saww telah mengatakan sesuatu (misalnya pelarangan nikah mut’ah),
maka pasti ahlul bait Rasulullah Saww tidak akan menyembunyikan masalah
tersebut kepada para pengikutnya. Kenyataan ini memberikan keyakinan kepada
kami untuk mempercayai bahwa Umarlah yang telah melarang nikah mut’ah dan bukan
Rasulullah Saww. Umar telah melakukan suatu ‘ijtihad’, yakni perubahan yang
berdasarkan keinginannya sendiri.
Pada bagian selanjutnya,
Insya Allah kami akan menganalisa beberapa riwayat Sunni yang menganggap bahwa
pelarangan nikah mut’ah dilakukan oleh Rasulullah Saww.
Bagian
Empat
Beberapa
Riwayat Yang Bertentangan
Dalam beberapa riwayat,
dikatakan bahwa Rasulullah Saww telah melarang nikah mut’ah. Akan tetapi,
banyak kontadiksi yang ditemukan dalam riwayat-riwayat tersebut. Berikut ini
ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah telah melarang nikah mut’ah
pada waktu perang Kaibar (1/7 H). Kita akan membicarakan beberapa keanehan
dalam riwayat ini secara ringkas.
Muhammad
Ibn Ali as menceritakan dari bapaknya,
Imam Ali as, bahwa Rasulullah Saww telah
melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai piaraan untuk selama-lamanya
pada perang Kaibar. Riwayat ini dimuat dalam Sahih Muslim, edisi bahasa
Inggris, V2, Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3265
Dalam
riwayat yang lain, diceritakan bahwa Imam Ali as mendengar Ibn Abbas memberikan
penjelasan beberapa keringanan dalam melakukan nikah mut’ah dan Imam Ali
mengatakan kepadanya: “Janganlah terlalu gampang mengeluarkan sebuah fatwa
wahai Ibn Abbas, karna sesungguhnya Rasulullah Saww telah melarang nikah mut’ah
dan memakan daging keledai piaraan pada perang Kaibar.” Lihat Sahih Muslim,
edisi bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage),
Hadits 3266.
Berikut
ini ada riwayat lain yang mengejutkan
karena di dalamnya dikatakan bahwa Rasulullah menganjurkan nikah mut’ah pada
penaklukan Makkah (9/8 H), tetapi kemudian melarangnya setelah Rasulullah dan
kaum muslimin meninggalkan Makkah.
Sabra
al-Juhani menceritakan: “Rasulullah menyuruh kami untuk melakukan nikah mut’ah
pada Tahun Kemenangan ketika kami menaklukan Makkah, dan kami tetap
melakukannya sampai beliau melarangnya.” (Catatan: Penterjemah Saudi
menggunakan kata ‘mengizinkan’ dan bukan ‘menyuruh’ padahal dalam hadits ini
digunakan kata ‘menyuruh’. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah bukan hanya
membolehkan nikah mut’ah tetapi juga menganjurkannya pada waktu Penaklukan
Makkah). Silahkan merujuk pada sumber-sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2,
Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3257
2.
Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980,
diterbitkan di Arab Saudi, V2, hal. 1025, Hadits 22, “Kitab al-Nikah, Bab
Nikah al-Mut’ah”
Sabra juga menceritakan:
“Rasulullah Saww menyuruh para sahabatnya untuk melakukan nikah mut’ah pada
Tahun Kemenangan……(maka sayapun melakukan nikah mut’ah). Saya tetap bersama
istri saya selama tiga (malam), kemudian akhirnya Rasulullah Saww menyuruh kami
untuk meninggalkan istri-istri kami.” (Sekali lagi, penterjemah Saudi
menggunakan kata “mengizinkan” dan bukan “menyuruh” meskipun dalam teks aslinya
digunakan kata “menyuruh”). Silahkan melihat sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2,
Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3257
2.
Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980,
diterbitkan di Arab Saudi, V2, hal. 1025, Hadits 22, “Kitab al-Nikah, Bab
Nikah al-Mut’ah”
Sekarang,
marilah kita lihat hadits yang lain yang mengatakan bahwa Rasulullah Saww
melarang nikah mut’ah selama-lamanya ketika beliau menyampaikan pidatonya di
samping Ka’bah. Kita akan melihat secara ringkas mengapa hadits ini tidak
benar.
Sabra
al-Juhani melaporkan dari bapaknya bahwa ketika bapaknya bersama Rasulullah
Saww, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, saya telah memperbolehkan
kalian melakukan nikah mut’ah tetapi Allah telah melarangnya sampai Hari
Kebangkitan. Oleh karena itu, siapapun yang mempunyai istri sekarang (dari
pernikahan mut’ah ini), maka hendaklah dia meninggalkannya dan jangan mengambil
apa-apa yang telah dia berikan kepadanya (sebagai mahar).” Lihat dalam sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2,
Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3255
2.
Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980,
diterbitkan di Arab Saudi, V2, hal. 1025, Hadits 21, “Kitab al-Nikah, Bab
Nikah al-Mut’ah”
Komentar
yang kami berikan pada riwayat ini adalah, sekali lagi, kata “istamta’a” digunakan untuk menyebut
nikah mut’ah seperti halnya kata yang digunakan didalam ayat Alqur’an (4:24).
Pada hadits selanjutnya dalam Sahih Muslim di atas, perawi yang sama
meriwayatkan hadits yang lain dengan menambahkan: “Saya melihat Rasulullah
berdiri di antara tiang dan pintu Ka’bah ketika menyampaikan hadits ini.” Lihat
sumber Sunni berikut:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2,
Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3256
2.
Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980,
diterbitkan di Arab Saudi, V2, hal. 1025, Hadits 21, “Kitab al-Nikah, Bab
Nikah al-Mut’ah”
Pada hadits berikut
dikatakan bahwa Rasulullah Saww membolehkan nikah mut’ah setelah Perang Hunanin
(setelah 10/8 H) yang terjadi setelah penaklukan Makkah. Diceritakan oleh Iyas
Ibn Salama dari bapaknya, bahwa Rasulullah Saww menyetujui nikah mut’ah yang
dilakukan selama tiga malam pada Tahun Autas (setelah perang Hunain tahun 8H)
tetapi kemudian melarangnya. (Catatan:
kalimat dalam kurung adalah catatan dari penterjemah Saudi dan bukan dari kami
(Abul Qasim Gourji, Pent.)). Silahkan merujuk pada sumber Sunni:
1.
Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2,
Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3251
2.
Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980,
diterbitkan di Arab Saudi, V2, hal. 1023, Hadits 18, “Kitab al-Nikah, Bab
Nikah al-Mut’ah”
Sekarang
marilah kita lihat beberapa masalah dalam riwayat-riwayat tersebut di atas.
Beberapa
tokoh Sunni meriwayatkan hadits-hadits di atas dengan sanad mufrad (yaitu
melalui satu perawi saja). Ibn Asakir telah melaporkan hadits di atas dengan
menisbatkannya kepada Imam Ali as yang di dalam rantai perawihannya terdapat
Ibn Sa’id. Selanjutnya dia menulis sendiri bahwa: “Ibn Sa’id adalah seorang
pembohong.” Bahkan tokoh Sunni yang lain seperti Darqunti juga menyebutkan
bahwa hadits-hadits di atas adalah mufrad. (Lihat Ifrad, oleh Daraqutni)
Jika Rasulullah saww memang telah melarang nikah
mut’ah pada perang Kaibar (1/7H), mengapa nikah mut’ah masih dilakukan oleh
para sahabat bahkan setelah perang Hunain (10/8 H) dengan perintah langsung
dari Rasulullah sendiri? (Lihat referensi di atas). Dengan kata lain, bagaimana
mungkin sesuatu dapat dilarang selama-lamanya dalam dua waktu yang berbeda
yaitu pada perang Kaibar (1/7 H) dan penaklukan Makkah (9/8H)? Mengapa para
sahabat masih melakukannya di antara dua waktu tersebut dan bahkan setelah dua
waktu ini dengan perintah Rasulullah sendiri? Pada hadits tentang perang Hunain
yang telah disebutkan di atas, dikatakan bahwa Rasulullah Saww mengizinkan
nikah mut’ah setelah perang Hunain. Bukankah perang Hunain terjadi setelah
perang Kaibar dan Penaklukan Makkah? Kita tidak bisa mengatakan bahwa para
sahabat melakukan nikah mut’ah hanya karena mereka tidak tahu bahwa nikah
mut’ah telah dilarang untuk selamanya. Bahkan dalam hadits di atas disebutkan,
nikah mut’ah dilakukan atas perintah Rasulullah Saww secara langsung. Lalu bagaimana
kita dapat membenarkan kutipan hadits-hadits di atas bahwa Rasulullah Saww
melarang nikah mut’ah selama-lamanya sebelum perang Hunain? Pertentangan ini
sekali lagi membuktikan bahwa riwayat-riwayat di atas digunakan hanya untuk
membenarkan tindakan yang dipaksakan oleh Umar (dengan menganggap bahwa
tindakannya, pent.) didasarkan pada riwayat-riwayat tersebut. Betapa indah yang telah dikatakan oleh Allah
dalam Alqur’an pada ayat 4:82, bahwa kita akan menemukan banyak pertentangan
dalam apa saja yang tidak datang dari Allah Swt.
Dua tokoh
mazhab Sunni yaitu al-Qurtubi (dalam kitab tafsirnya) dan al-Nawawi (dalam
kitab komentarnya terhadap Sahih Muslim) sama-sama sependapat bahwa di dalam
hadits-hadits tentang pelarangan nikah mut’ah terdapat tujuh waktu pelarangan
yang berbeda-beda. Mengapa sampai demikian? Bukankah pada setiap pelarangan
dikatakan bahwa nikah mut’ah telah dilarang selama-lamanya?
Lantas
bagaimana mungkin masyarakat muslim sepeninggal Rasulullah Saww masih melakukan
nikah mut’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa orang mengatakan bahwa
meskipun Rasulullah Saww telah melarangnya, tetapi sebagian besar sahabat belum
mengetahui pelarangan ini. Oleh karena itu, sahabat Rasulullah Saww masih
banyak yang melakukannya sampai Umar melarang mereka setelah Umar memegang
tampuk kekhalifahan.
Jika
anggapan ini benar, hal itu menunjukkan bahwa semua sahabat, kecuali Umar,
dianggap kurang memperhatikan sunnah Rasulullah Saww sehingga tidak tahu bahwa
nikah mut’ah telah dilarang. Mereka justru masih melakukannya sepeninggal
Rasulullah Saww, bahkan bertengkar satu sama lain dalam masalah ini. Mereka
telah melakukan perzinahan dan mendukung satu sama lain untuk melakukannya, dan
tak ada seorangpun yang melarang mereka kecuali
Umar. Dan secara tiba-tiba, setelah Umar melarang mereka, akhirnya
merekapun ramai-ramai membicarakannya.
Lalu
bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa semua sahabat telah menjaga Sunnah
Rasulullah Saww? Bagaimana dengan keyakinan orang Sunni bahwa jika kita
mengikuti siapapun di antara mereka maka kita akan masuk surga sebab mereka
semuanya adalah bintang petunjuk (meskipun bintang itu berasal dari Muawiyah)?
Apakah kita salah jika mengikuti Jabir yang mengatakan bahwa Umarlah yang
melarang nikah mut'ah? Bagaimana tentang Imran Ibn Husain yang mempercayai
bahwa Umar telah mengatakan apa yang diinginkannya sendiri dan bukan Allah dan
RasulNya yang melarang nikah mut’ah? Apakah salah jika kita merujuk kepada Imam
‘Ali yang dikenal sebagai sahabat yang paling berilmu dan telah mengatakan
bahwa: “Mut’ah adalah rahmat dari Allah. Jika sekiranya Umar tidak melarangnya,
maka tak akan ada seorangpun yang berzina kecuali orang yang benar-benar rusak
(shaqi)”? (Lihat dua sumber yang telah disebutkan sebelumnya, satu dari
beberapa kitab tafsir yang disebut pada bagian pertama dan satunya lagi dimuat
di dalam beberapa kitab tarikh pada bagian ketiga).
Imam ‘Ali as, Abu Dzar al-Ghiffari, Jabir
Ibn Abdillah, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Zubair Ibn al-Awwam,
Imran Ibn Husain, Abdullah Ibn ‘Umar, Ubay Ibn Ka’ab, Abu Sa’id al-Khudri, Salamah Ibn Umayyah, Awka’ Ibn Abdillah,
Salama Ibn al-Awka’, Khalid Ibn Muhajir, ‘Amr Ibn Huraits, Rabi’ah Ibn Umayyah, Suhair, Sa’id Ibn Jubair Tawus,
Qatadah, Mujahid, Ataa al-Madani al-Suddy, dan Imam Hasan as adalah
sahabat-sahabat Rasulullah Saww yang juga menjadi bintang petunjuk dalam
keyakinan orang Sunni. Lalu, jika kita mengikuti mereka dalam hal pembolehan
nikah mut’ah, apakah lantas kita tidak termasuk orang-orang yang diberi
petunjuk?
Lagipula, jika mereka mengklaim bahwa
Rasulullah Saww pernah membolehkan nikah mut’ah pada paruh waktu tertentu,
semestinya Rasulullah Saww juga menyampaikan bahwa para sahabat hanya bisa
melakukannya pada saat itu saja yang selanjutnya akan dilarang selama-lamanya. Dengan
kata lain, Rasulullah Saww harus menyampaikan pelarangannya pada saat beliau
membolehkannya. Dengan cara ini, maka tidak akan ada lagi kebingungan di
kalangan sahabat setelah itu. Sekarang pertanyaannya adalah: Apakah Rasulullah
Saww menyebutkan pelarangan nikah mut’ah pada saat beliau membolehkannya?
Jika
jawabannya adalah ya, lalu mengapa masih banyak sahabat terkemuka Rasulullah
Saww seperti Jabir Ibn Abdillah al-Ansari, Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas'ud,
Imran Ibn Husain, dan Abdullah Ibn Umar yang masih melakukan nikah mut’ah
sepeninggal Rasulullah Saww??
Jika
jawabannya adalah tidak, (yaitu Rasulullah Saww tidak menyebutkan pelarangan
nikah mut’ah pada saat beliau membolehkannya untuk paruh waktu tertentu), maka
ini berarti Rasulullah Saww dengan sengaja membiarkan para sahabatnya
kebingungan dengan alasan yang telah kami sebutkan sebelumnya. Karena ternyata,
disebabkan ketidaktahuan dan kebingungan sahabat, akhirnya mereka tetap
melakukan dan menganjurkan nikah mut’ah sepeninggal Rasulullah Saww sampai Umar
melarangnya.
Di samping
itu, jika Rasulullah saww tidak menyampaikan pelarangan nikah mut’ah ke seluruh
lapisan masyarakat pada waktu, ini berarti Rasulullah bertentangan dengan
firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan apa-apa yang diharamkan bagimu dengan sejelas-jelasnya” (6:119)
Apakah mungkin Rasulullah
Saww tidak menyampaikan sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt yang menyebabkan
banyak sahabat melakukan perzinaan? Mengapa justru Umar (dan bukan Rasulullah
Saww) yang mengingatkan dan memutuskan
bahwa waktu itulah saat yang tepat untuk menyampaikan pelarangan nikah mut’ah
agar para sahabat tidak melakukan perzinaan lagi?? Bagaimana kita harus
memandang ayat (6:110) tersebut di atas jika ternyata Rasulullah tidak
menyampaikan pelarangan nikah mut’ah sehingga karena ketidaktahuan para sahabat
akhirnya mereka saling berselisih tentang suatu masalah yang sangat penting
itu?
Lagipula, apakah orang-orang Sunni
berpikir bahwa sahabat-sahabat yang kami sebutkan di atas (yang mempercayai bahwa
nikah mut’ah dibolehkan) tidak takut kepada Allah? Jika mereka takut kepada
Allah dan mereka tidak punya cukup bukti bahwa nikah mut’ah dibolehkan, mereka
pasti meninggalkan dan tidak menganjurkan nikah mut’ah tersebut meskipun
setelah Umar melarangnya. Ibn Abbas adalah salah seorang sahabat yang tidak
menerima apa yang dikatakan oleh Umar dan masih tetap menganjurkan nikah mut’ah
bahkan setelah perang Jamal dimana beliau berdebat dengan Ibn Zubair dalam
masalah ini. Apakah Ibn Abbas mencurigai
Umar? Mengapa beliau tidak mempercayai Umar? Alasannya sangat sederhana,
yaitu karena Umar tidak menisbatkan pelarangan nikah mut’ah itu kepada
Rasulullah Saww. Umar mengatakan: “Rasulullah membolehkan nikah mut’ah dan saya
melarangnya.” Oleh karena itu, andaikan saya (Abul Qasim Gourji, pent.) adalah
Ibn Abbas, sayapun akan melakukan hal yang sama. Kita harus mempertahankan
sunnah Rasulullah Saww jika diganggu oleh orang lain siapapun mereka; apalagi,
selain kewajiban, tugas ini merupakan tindakan yang sangat terpuji. Inilah yang
menjadi pertimbangan Ibn Abbas. Hal ini pula yang menjadi alasan bagi sahabat
yang lain untuk mempercayai pembolehan nikah mut’ah bahkan sepeninggal Umar.
Para sahabat tersebut percaya bahwa pelarangan yang dilakukan oleh Umar adalah
hasil tangan manusia, bukan pelarangan yang datang dari Allah dan RasulNya.
Sebaliknya, jika memang para sahabat Rasulullah Saww tersebut tidak yakin
dengan tindakannya, setidaknya mereka pasti akan memilih diam karna rasa
takutnya kepada Allah Swt. Tetapi kenyataannya, mereka benar-benar yakin bahwa
yang mereka lakukan adalah benar.
Pidato yang disampaikan oleh Rasulullah
Saww di Makkah memang telah diriwayatkan oleh beberapa perawi. Tapi mengapa
pidato itu hanya bersumber dari satu orang saja yang bernama Sabra al-Juhani?
Mengapa hanya satu orang yang mendengar bagian pidato Rasulullah Saww yang
memuat pelarangan nikah mut’ah? Mengapa sahabat yang lain tidak mendengarnya?
Adalah suatu hal yang tidak mungkin jika Rasulullah Saww berdiri didepan banyak
orang di Makkah untuk menyampaikan sesuatu yang dilarang sampai hari kiamat,
tetapi hanya satu orang yang mendengar
pelarangan tersebut.
Lagi pula, ada banyak kejanggalan pada
berbagai versi hadits dari Sabra al-Juhani pada kitab-kitab Hadits Sunni. Pada
beberapa versi disebutkan bahwa pelarangan itu terjadi pada penaklukan Makkah
(8 H) sementara pada versi yang disebutkan terjadi pada Haji Wada’ (10H).
Kejanggalan ini semakin memperkuat bahwa hadits ini maudhu. Bahkan, versi hadits dari Sabra yang
menyebutkan Rasulullah Saww membolehkan nikah mut’ah terjadi pada Haji Wada’
jauh lebih janggal lagi. Seperti pada hadits-hadits sebelumnya, kebanyakan
riwayat mengatakan bahwa nikah mut’ah dibolehkan ketika para sahabat jauh dari
istri-istri mereka. Lantas bagiamana mungkin sahabat mengeluhkan perpisahan
dengan istri-istri mereka pada haji wada’ dan karenanya boleh melakukan nikah
mut’ah? Bukankah pada waktu haji wada’ tersebut istri-istri sahabat ikut dalam
perjalanan Rasulullah Saww? Apatah lagi, bukankah para sahabat waktu itu dapat
melakukan nikah da’im di Makkah (yang merupakan tanah air sebagian besar
sahabat Rasulullah sendiri, pent.)? Pertanyaan-pertanyaan logis ini yang juga
memberikan bukti lain dari absurditas hadits Sabra. Kebanyakan riwayat (dalam
sumber-sumber Sunni) menyebutkan bahwa nikah mut’ah hanya dibolehkan saat
peperangan saja; tapi ternyata, masih banyak sahabat yang melakukan dan
menganjurkannya sampai Umar yang melarangnya.
Kontradiksi yang lain dalam riwayat
tentang pelarangan nikah mut’ah di Makkah adalah, dalam hadits itu dikatakan,
Rasulullah Saww bersabda: “Saya telah membolehkan nikah mut’ah, tetapi Allah
kemudian melarangnya.”
Masalahnya adalah, kalimat ini
bertentangan riwayat lain yang dinisbatkan kepada Imam ‘Ali as yang menyebutkan
bahwa Rasulullah yang melarang nikah mut’ah. Seperti yang telah kami jelaskan
sebelumnya, Rasulullah tidak pernah mengajarkan konsep nikah mut'ah sebelum
Allah Swt menerangkan masalah ini. Selanjutnya setelah Allah Swt menurunkan
ayat yang menjelaskan tentang nikah mut’ah (4:24), Rasulullah Saww kemudian
membolehkannya. Lalu bagaimana kita menanggapi hadits dari Imam ‘Ali (dalam
Sahih Muslim) yang mengatakan bahwa Rasulullah yang melarang nikah mut’ah?
Apakah mungkin keinginan Rasulullah Saww adalah berdasarkan pikirannya sendiri?
Bukankah seluruh tindakan dan ucapan Rasulullah Saww adalah wahyu (53:3-4)?
Oleh karena itu, tidak mungkin perintah Allah bertentangan dengan prilaku dan
ucapan Rasulullah.
Bagian
Kelima
Tujuan Pernikahan
Beberapa
tokoh Sunni menilai, berdasarkan firman Allah: “Allah telah menjadikan
untukmu istri-istri kamu dari golongan kamu sendiri, dan menjadikan dari istri-istri kamu itu
anak-anak dan cucu-cucu kamu…..” (16:72), maka tujuan pernikahan adalah
untuk tujuan melanjutkan keturunan. Akan tetapi, tujuan pernikahan (dalam ayat
ini) tidak didapatkan dalam nikah mut’ah. Oleh karena itu, dalam pernikahan
mut’ah ini, hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa disebut sebagai
hubungan suami istri.
Untuk
menjawab pernyataan ini, kami ingin menjelaskan bahwa nikah mut’ah secara umum
memang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan (meskipun pasangan suami
istri dapat melakukannya jika mereka menginginkan). Tetapi kenyataan
membuktikan, banyak nikah mut’ah dilakukan sebagai awal dari pernikahan da’im
untuk menghasilkan keluarga yang sakinah. Dalam banyak kasus, suami istri
akhirnya akan melanjutkan hubungan mereka ke pernikahan da’im, setelah mereka
merasakan hubungan yang baik di dalam
masa pernikahan mu’tah sebelumnya.
Meskipun
kelanjutan kehidupan manusia hanya dapat dipertahankan lewat pernikahan, tetapi
Alqur’an tidak menyatakan bahwa tujuan itu adalah satu-satunya yang diharapkan
dari sebuah pernikahan. Bahkan, Alqur’an juga tetap melegalkan pernikahan yang
tidak memungkinkan adanya kelahiran. Jika tujuan pernikahan satu-satunya
hanyalah untuk menghasilkan keturunan, maka pernikahan dengan perempuan yang
mandul atau yang tidak dapat melahirkan, serta perempuan yang sudah tua
(menopause, pent.) pasti akan dilarang.
Dengan alasan
yang sama, maka alat-alat dan metode kontrasepsi tidak akan diperbolehkan.
Tetapi seperti yang kita ketahui, pernikahan dengan kondisi-kondisi yang telah
disebutkan di atas tetap diperbolehkan di dalam Islam. Kenyataan ini
menjelaskan bahwa fungsi reproduksi bukanlah satu-satunya tujuan sebuah
pernikahan.
Di samping
itu, ketika mendiskusikan tujuan pernikahan, kita harus terbuka untuk melihat
tujuan-tujuan pernikahan yang lain yang juga disebutkan di dalam Alqur’an. Tujuan reproduksi yang disebutkan di atas
hanyalah salah satu tujuan pernikahan yang permanen. Ayat di atas tidak menyebutkan sama sekali bahwa
tujuan reproduksi adalah satu-satunya alasan untuk menikah. Berikut ini adalah
tujuan pernikahan yang lain yang disebutkan di dalam Alqur’an.
1. Untuk kesenangan dan kenikmatan pasangan
suami istri.
Allah Swt
berfirman: “….Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum)
setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu
kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling
merelakannya setelah perjanjian itu….” (4:24)
Kesenangan dan
kenikmatan yang disebutkan dalam ayat ini bukan hanya kenikmatan pisik saja,
tetapi juga mencakup kesenangan dan kenikmatan spiritual.
Di dalam
Alqur’an Allah berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah
diciptakannya istri-istri kamu dari golongan kamu sendiri sehingga kamu dapat
merasakan ketenangan bersamanya, dan kemudian Allah menciptakan rasa cinta dan
kasih sayang di antara kalian. Sesungguhnya
pada yang demikian
itu terletak tanda-tanda bagi orang yang berpikir.”
(30:21)
Tujuan
pernikahan yang disebutkan pada ayat di atas adalah pencapaian kestabilan spiritual, ketenangan sosial, ketenangan
psikologis, dan untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama.
Tujuan ini tentu saja dapat diperoleh baik melalui nikah da’im maupun dengan
nikah mut’ah.
3. Untuk menghindarkan manusia dari perzinahan.
Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya………dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak yang
mereka miliki, maka sesungguhnya mereka jauh dari sifat tercela. Tetapi
barangsiapa yang berbuat lebih dari itu, maka dia termasuk orang-orang yang
melewati batas.” (23:1-7)
Demikianlah beberapa tujuan pernikahan yang disebutkan
di dalam Alqur’an. Di samping itu, hadits-hadits Rasulullah juga menyebutkan
tujuan yang lain yaitu:
4. Melindungi agama dan keyakinan
Rasulullah
Saww bersabda: “Seseorang yang telah menikah berati telah menyempurnakan setengah (sepertiga) agamanya,
maka hendaklah dia takut kepada Allah untuk setengah (duapertiga) yang lain”
Nikah mut’ah
telah menyelamatkan orang-orang beriman baik
laki-laki dan perempuan, melindungi mereka dari perbuatan dosa, dan
tetap mempertahankan mereka dalam keyakinan dan agama Islam.
Di samping itu, pernikahan juga bertujuan
untuk pengembangan dakwah. Dalam kasus ini, nikah mut’ah lebih ringan resikonya
dibandingkan dengan nikah da’im.
Kasus Nikah Mut’ah dan
Khamr
Untuk
menjelaskan praktik nikah mut’ah pada zaman Rasulullah (yang dibolehkan
kemudian dilarang menurut Sunni, pent.), sebagian orang mengidentikannya dengan
pelarangan minuman yang beralkohol (khamr) secara bertahap oleh Allah
Swt. Mereka menganggap bahwa pada awalnya nikah mut’ah diperbolehkan, tetapi
kemudian Allah melarangnya secara bertahap sebelum Rasulullah Saww wafat.
Menurut kami, pernyataan
ini bertentangan dengan berbagai riwayat yang menyampaikan bahwa para sahabat
Rasulullah dan tabi'in (lihat kembali daftar namanya di bagian ketiga) masih
menganjurkan nikah mut’ah bahkan setelah Rasulullah wafat. Di samping itu, kami menilai bahwa tidak ada
persamaan sama sekali antara khamr dan nikah mut’ah. Khamr telah dikenal
berabad-abad sebelum Islam datang dan Islam tidak pernah melegalkan dan
menerimanya. Sementara, nikah mut’ah belum pernah dikenal sebelumnya sampai
Islam melegalkannya dengan sejumlah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
perlaksanaan nikah mut’ah tersebut.
Rasulullah
Saww tidak pernah menganjurkan para sahabatnya untuk meminum khamr mulai dari
awal kenabiannya sampai beliau wafat, tetapi justru menganjurkan nikah mut’ah.
(Lihat kembali hadits yang dikutip dari Sahih Muslim di bagian keempat yang
menganjurkan sahabatnya untuk melakukan nikah mut’ah). Demikian pula, Allah
tidak pernah melegalkan khamr di dalam Alqur’an, tetapi Allah telah melegalkan
dua jenis mut’ah (nikah mut’ah dan haji tamattu) pada dua ayat yang berbeda.
Seperti yang telah kami kutip sebelumnya,
banyak tafsir Sunni yang menjelaskan bahwa ayat 4:24 diturunkan
sehubungan dengan nikah mut’ah. (Untuk haji tamattu’, Allah menurunkan
penjelasan di ayat yang lain).
Tujuan
utama pelarangan khamr di dalam Islam dijelaskan dari awal yaitu “janganlah kalian mabuk ketika sedang
shalat”. Hal ini tidak menunjukkan bahwa Islam membolehkan seseorang minum
khamr (mabuk) pada waktu yang lain, tetapi masalah ini belum dianggap prioritas
pada saat itu, sementara Rasulullah sendiri pada saat yang sama sedang berusaha
untuk mengajak para sahabat agar tidak meminum khamr (mabuk) pada waktu yang
lain (selain dalam shalat, pent.). Allah tidak pernah menurunkan ayat yang
mengatakan: “Kalian dapat meminum alkohol (mabuk) ketika tidak sedang shalat.”
Ayat-ayat
Alqur’an yang diturunkan untuk memansukh ayat sebelumnya tidaklah bertentangan
satu sama lain, tetapi justru ayat tersebut
memberikan batasan hukum yang lebih detail dibanding batasan pada ayat
sebelumnya. Di dalam Alqur’an, kita tidak menemukan satu ayatpun yang memansukh
ayat nikah mut’ah, dan kitapun tidak menemukan penjelasan dari Rasulullah Saww
sehubungan dengan pe-mansukh-an ayat nikah mut’ah tersebut.
Untuk
kasus khamr, kita dapat melihat pengaturan yang sangat jelas. Alqur’an mulai
membicarakan khamr dengan melarang orang yang beriman melakukan shalat ketika
sedang mabuk, dan kemudian selanjutnya diberikan klarifikasi yang jelas bahwa
keterlibatan apapun dalam hubungannya dengan khamr (menyediakan,
memperjualbelikan, meminum, pent.) adalah tindakan yang sangat dilarang.
Sementara, pengaturan yang berhubungan nikah mut’ah tidak kita temukan dengan
cara seperti ini.
Pelarangan Hubungan
Seksual yang Tidak Sah.
Sebagian
orang mengakui bahwa pelacuran adalah hal yang lumrah di kalangan sahabat
sampai Rasulullah Saww melarangnya.
Orang-orang ini, tanpa rasa malu sedikitpun, telah menyebut sahabat
Rasulullah Saww yang mereka kagumi sebagai pelacur. Sikap seperti ini mirip
yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap Nabi-Nabi mereka hanya
untuk membenarkan tindakannya sendiri. Mereka berkata, “jika nabi-nabi kita
juga telah melakukan dosa, itu berarti kitapun dapat melakukannya dan Tuhan
pasti memaafkan kita.”
Tak ada
seorangpun nabi yang telah diutus oleh Allah yang membolehkan pelacuran, lalu
apakah orang-orang ini menganggap bahwa penghulu semua nabi (Rasulullah
Muhammad Saww) telah memperbolehkannya? Apakah sahabat Rasulullah jauh lebih
buruk dari ummat Nabi Luth as sehingga perlu melakukan perzinahan untuk
interval waktu tertentu (dalam hal ini nikah mut’ah menurut keyakinan mereka,
pent.)? Bahkan nabi Luth sekalipun tidak pernah membolehkan ummatnya untuk
melakukan tindakan yang sangat keji seperti itu.
Rasulullah
Saww tidak pernah membolehkan tindakan yang salah untuk mencapai tujuannya
(misalnya menyebarkan Islam dengan perang). Secara analogis, Rasulullah tidak
mungkin membolehkan perzinahan hanya untuk memberikan kesenangan kepada para sahabatnya agar tetap kuat dalam
berperang. Tujuan tidak pernah
menghalalkan segala cara, dan inilah nilai yang sangat fundamental dalam ajaran
Islam. Adalah suatu hal yang sangat tidak mungkin, bahwa Rasulullah Saww telah
menyuruh sahabatnya untuk mabuk-mabukan, saling membunuh, melakukan perkosaan,
melakukan perjudian, ataupun melakukan pelacuran dan perzinahan untuk waktu
tertentu hanya karena hal itu dianggap perlu.
Orang-orang
yang beranggapan demikian mungkin tidak tahu, Rasulullah Saww telah melarang
pelacuran dan perzinahan sejak di Makkah, sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.
Sebagai
contoh, mari kita lihat firman Allah Swt: “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam
shalatnya………dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka, atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka
jauh dari sifat tercela. Tetapi barangsiapa yang berbuat lebih dari itu, maka
dia termasuk orang-orang yang melewati batas.” (23:1-7)
Dan juga
Allah Swt berfirman: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak-budakyang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Dan siapapun yang berbuat
lebih dari itu, maka sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (70:29-31)
Ayat-ayat di atas dengan jelas memberikan klarifikasi
bahwa hubungan seksual hanya diperbolehkan melalui hubungan pernikahan atau
dengan budak yang dimiliki secara sah. Jika ayat-ayat di dalam Surah
Al-Mukminun (23:1-7) dan Surah Al-Ma’arij (70:29-31) di atas diturunkan setelah
ayat nikah mut’ah dalam Surah An-Nisa’ (4:24), mungkin orang dapat menganggap
bahwa ayat-ayat di atas yang pertama bertujuan untuk memansukh ayat tentang
nikah mut’ah tersebut.
Semua kaum
muslimin sepakat, ayat-ayat pada surah al-Mukmimun dan surah al-Ma’arij di atas
diturunkan di Makkah, jauh sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Oleh karena
itu, perzinahan dan pelacuran telah dilarang di Makkah pada awal Islam
disampaikan oleh Rasulullah Saww. Sementara itu, semua mazhab juga sepakat bahwa ayat tentang nikah mut’ah dalam
surah an-Nisa (4:24) di atas diturunkan di Madinah. Demikian juga, baik mazhab
Syi’ah maupun mazhab Sunni, keduanya percaya bahwa Rasulullah membolehkan nikah
mut’ah di Madinah, oleh karena itu para sahabatpun mulai mempraktekkannya.
Kenyataan
ini kemudian membuktikan bahwa mut’ah adalah salah salah satu jenis pernikahan
yang diperbolehkan, hubungan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan ini
adalah hubungan suami istri yang sebenarnya; jika tidak, maka tindakan
Rasulullah Saww sudah bertentangan dengan ayat-ayat surah al-Mukminun di atas
yang membatasi hubungan seksual hanya melalui pernikahan atau kepemilikan budak
yang sah saja. Rasulullah Saww dalam hal ini tidaklah bertentangan dengan
ayat-ayat tersebut karena ayat-ayat itu tidaklah di mansukh (dengan diturunkannnya
ayat tentang nikah mut’ah itu, pent.).
Dengan demikian, jika Rasulullah membolehkan nikah mut’ah di Madinah,
hal itu berarti bahwa tindakannya tidaklah bertentangan dengan ayat-ayat dalam surat al-Mukminun dan
al-Ma’arij yang telah diturunkan di Makkah sebelumnya, yaitu kutipan ayat-ayat
di atas. Kesimpulannya adalah, nikah mut’ah adalah jenis pernikahan yang
diperbolehkan, yang telah dilegalkan jauh setelah pelarangan perzinaan dan
pelacuran.
Sekali lagi, untuk memaafkan para sahabat yang
telah melakukan nikah mut’ah, mashab Sunni mengatakan bahwa sebagian sahabat
mempunyai keimanan dan keyakinan yang masih lemah terhadap Islam. Orang-orang
yang memiliki keimanan yang relatif lemah itu, dikhawatirkan untuk kembali
melakukan perzinahan dan pelacuran yang merupakan dosa yang sangat besar. Oleh
karena itu, akhirnya Rasulullah Saww memperbolehkan mereka melakukan nikah
mut’ah.
Tanpa
sengaja, orang-orang yang beranggapan seperti ini menilai bahwa tidak semua
sahabat Rasulullah mempunyai keyakinan yang kuat. Ini menjadi pernyataan yang
harus digarisbawahi. Kadang-kadang,
untuk membenarkan sesuatu, orang-orang harus mengkompromikan keyakinan mereka.
Yang mengherankan adalah, orang Syi’ah juga mempunyai keyakinan yang sama
(bahwa tidak semua sahabat mempunyai keyakinan yang cukup kuat, pent.). Jika
mazhab Syi’ah mengikuti Imam ‘Ali as dan bukan sahabat yang lain, hal itu bukan
berarti bahwa yang lain itu bukanlah sahabat yang beriman, tetapi Imam ‘Ali
adalah sahabat yang paling tinggi dalam ilmu dan keyakinannya dibanding sahabat
yang lain. Seperti yang kita ketahui, perzinahan dan pelacuran telah dilarang jauh sebelum penetapan
peraturan tentang nikah mut’ah, dan Allah menetapkan semua peraturan tanpa
memperdulikan apapun tanggapan para sahabat terhadap peraturan tersebut.
Sisi lain
komentar dalam masalah ini adalah, dalam yurisprudensi mazhab Syi’ah,
masturbasi adalah tindakan yang dilarang sesuai dengan ayat yang telah
disebutkan di atas, karena Allah membatasi pemenuhan kepuasan seksual hanya
melalui pernikahan ataupun kepemilikan budak perempuan yang sah. Sebenarnya
mazhab Sunni juga berpendapat bahwa masturbasi adalah tindakan yang dilarang,
tetapi sebagian berpendapat bahwa jika seseorang takut jatuh ke dalam dosa
karena perzinaan, maka dia dapat melakukan masturbasi dengan anggapan
masturbasi dosanya lebih kecil daripada hubungan seksual yang dilarang. Jelas
sekali, anggapan ini tidak mempunyai justifikasi di dalam Alqur’an maupun dari
Rasulullah Saww. Sekali lagi, pendapat (sebagian) mazhab Sunni yang menganggap
dosa masturbasi lebih kecil daripada dosa perzinahan memberikan bukti lain yang
absurd tentang dibolehkannya para sahabat untuk melakukan nikah mut’ah. Jika
dosa masturbasi itu lebih kecil, mengapa Rasulullah Saww tidak menyuruh para
sahabatnya untuk bermasturbasi saja dan melarang melakukan nikah mut’ah.
Tindakan Rasulullah Saww ini memberikan penegasan bahwa sekiranya seseorang
takut terjerumus ke dalam dosa karena perzinahan, maka sebaiknya dia melakukan nikah mut’ah dan
bukan masturbasi.
Nikah
mut’ah adalah salah satu solusi baru
yang disumbangkan oleh Islam terhadap permasalahan manusia yang diajarkan oleh
Sang Nabi Terakhir untuk generasi setelahnya. Solusi itu dimaksudkan untuk
mensucikan masyarakat dan bangsa demi menciptakan tatanan sosial yang terbaik,
membersihkan masyarakat tersebut dari kejahatan, kekotoran dan
kebiasaan-kebiasaan buruk agar tercipta struktur sosial yang mapan dan kuat.
Sayangnya, masyarakat (yang telah dibentuk oleh Rasulullah Saww, pent.) ini
tidak mampu melindungi syari’at jenis pernikahan mut’ah dengan baik, tidak
menghargai peraturan-peraturannya bahkan tidak menghidupkan legalitasnya.
Sebaliknya, justru nikah mut’ah disebutnya sebagai tradisi yang buruk dan
penyakit kebodohan. Tetapi tanpa mereka sadari, konsekuensi dari tindakan
mereka justru melahirkan penyakit sosial, korupsi, pelacuran dan perzinahan
yang dapat kita saksikan di lingkungan masyarakat Muslim sekarang ini.
Beberapa Komentar Lain
Tentang Nikah Mut’ah
Mazhab
Sunni mengatakan bahwa Ibn Abbas membolehkan nikah mut’ah hanya dalam kondisi
darurat. Pernyataan ini benar. Seperti yang telah kita kutip sebelumnya,
Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Jamra berkata: “Saya mendengar Ibn Abbas
(memberikan sebuah fatwa) ketika beliau ditanyai masalah nikah mut’ah dan dia
membolehkannya. Pada saat itu seorang budaknya yang telah dimerdekakan berkata
kepada Ibn Abbas: ‘Hal itu dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat dan
perempuan yang baik untuk dinikahi secara da’im sulit ditemukan, atau ketika
kita mengalami kondisi yang serupa.’ Mendengar hal itu Ibn Abbas berkata: ‘Ya’
“ (Lihat Sahih Bukhari, versi bahasa Arab-Inggris, V7, hadits 51.
Dalam
hadits ini, ada kalimat yang janggal. Kejanggalan itu adalah, bagaimana mungkin
perempuan (yang baik) sulit didapatkan tetapi pada saat yang sama seorang
perempuan dapat dinikahi dengan mut’ah? Jika perempuan memang jumlahnya
sedikit, maka itu berarti jumlah perempuan tetap sedikit baik untuk nikah
permanen maupun untuk nikah mut’ah. Sebaliknya, jika ada perempuan yang dapat dinikahi
dengan mut’ah itu berarti ada juga perempuan yang dapat dinikahi secara
permanen, sehingga alasan sedikitnya perempuan yang dapat dinikahi secara da’im untuk membolehkan nikah mut’ah ini akan
gugur dengan sendirinya.
Anggaplah
bahwa kalimat terakhir pada hadits di atas benar adanya, maka maksud perkataan
budak Ibn Abbas adalah, jika perempuan yang baik sulit ditemukan untuk dinikahi
secara da’im, maka seseorang dibolehkan mencari perempuan yang bisa dinikahi
secara mut’ah sampai dia menemukan perempuan yang baik untuk dinikahi secara
da’im. Kenyataannya, di dalam mazhab Syi’ah sekalipun, nikah mut’ah tidak
dianjurkan jika kita dapat menikahi perempuan (yang baik) secara da’im. Tetapi
pada kasus-kasus seperti di negara Barat misalnya, dimana orang Muslim sulit
untuk mendapatkan pasangan yang baik secara da’im, sementara mereka mengalami
tekanan, maka salah satu jalan keluar yang dapat ditempuhnya adalah dengan
melakukan nikah mut’ah. Bahkan di negri-negri Muslim sekalipun, jika seseorang
tidak terlalu yakin dengan kualitas calon pasangannya, maka mereka dapat
melakukan nikah mut’ah untuk sementara waktu sebelum melanjutkannya dengan
nikah da’im (setelah mereka sudah benar-benar yakin dalam pilihannya). Di dalam
masa pernikahan mut’ah inilah, mereka dapat saling menjajaki satu sama lain,
apakah hubungan mereka cukup baik atau tidak untuk dilanjutkan ke pernikahan
da’im. Pada kasus yang lain, misalnya seorang laki-laki yang belum mampu
memberikan nafkah kepada istrinya, maka dia dapat melakukan nikah mut’ah.
Komentar
mazhab Sunni yang lain terhadap hadits dari Ibn Abbas di atas adalah, jika
seseorang kesulitan menemukan perempuan (muslim) untuk dinikahi, maka dia dapat
menikah mut’ah dengan perempuan dari ahlul kitab. Meskipun hadits tersebut tidak membatasi
agama perempuan yang bisa dinikahi, tetapi mazhab ini mempercayai bahwa
perempuan ahlul kitab dapat dinikahi jika sulit untuk menemukan perempuan
muslim. Pernyataan ini memerlukan komentar yang lebih luas.
Jika
anggapan ini dapat diterima, kita masih menemukan kejanggalan lain. Semua kaum
muslimin mempercayai bahwa menikah dengan
perempuan ahlul kitab diperbolehkan dalam agama Islam. Jika memang
diperbolehkan, berarti perempuan yang dapat dinikahi semakin banyak, selain
dari perempuan muslim sendiri, juga dari golongan perempuan ahlul kitab.
Seterusnya, jika kita mudah untuk menemukan perempuan ahlul kitab yang dapat
dinikahi, berarti hal ini berlaku baik untuk nikah da’im maupun nikah mut’ah.
Sekali lagi ini membuktikan, alasan diperbolehkannya nikah mut’ah saat
perempuan (yang baik) untuk dinikahi sulit ditemukan akan gugur dengan
sendirinya. Apakah hadits di atas mengatakan bahwa seseorang dapat melakukan
perzinahan dengan ahlul kitab saat jumlah perempuan Muslim sangat sedikit? Akhirnya kita harus sepakat
bahwa nikah mut’ah bukanlah bentuk perzinaan. Kalau memang nikah mut’ah
merupakan bentuk perzinaan, Ibn Abbas tidak mungkin berani untuk membolehkannya
walaupun dengan perempuan ahlul kitab sekalipun.
Di samping
itu, menurut hadits di atas, Ibn Abbas sendiri membolehkan nikah mut’ah pada
beberapa kondisi. Pernyataan ini dapat dimengerti tanpa interpretasi. Sekarang, pertanyaan
selanjutnya adalah, apakah kita sepakat dengan mazhab Sunni bahwa Ibn Abbas
adalah seorang sahabat Rasulullah yang terhormat dan seorang penafsir Alqur’an
dari kalangan sahabat? Jika jawabannya ya maka semestinya kita harus
mengikutinya. Atau setidaknya, seseorang tidak boleh menyalahkan seorang Muslim
yang mengikuti pendapat Ibn Abbas dan sahabat yang lain yang sependapat dengan
beliau dalam masalah nikah mut’ah ini.
Pengikut
Wahabi mengatakan, jika orang-orang Syi’ah benar-benar mengikuti Imam ‘Ali as,
maka semestinya mereka mengikuti Imam ‘Ali dalam hal pelarangan nikah mut’ah
seperti yang telah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Kita telah
mendiskusikan masalah hadits ini dengan beberapa kontradiksi di dalamnya yang
salah satunya adalah, seperti yang juga dipercayai oleh mazhab Sunni, hadits
ini adalah mufrad. Di samping itu, kami tidak mempercayai bahwa semua hadits
yang diriwayatkan dalam sahih Bukhari benar semuanya. Kitab itu adalah hasil
pekerjaan manusia, bukan sebuah kitab yang diturunkan oleh Allah kepada
Bukhari. Bukhari sendiri, demikian juga
semua perawi yang dikutip dalam kitabnya, bukanlah orang-orang yang tidak
mungkin salah. (Kecuali Wahabi mempercayai bahwa Bukhari, para sahabat dan para
perawi adalah orang-orang maksum). Tanpa bermaksud untuk mengatakan bahwa
terlalu banyak kejanggalan dalam kitab Sahih Bukhari, kami juga mempercayai
bahwa tidak semua hadits itu adalah benar.
Saya
(penulis) mengajak kepada semua saudara Sunni untuk tetap bersikap kritis
terhadap hadits-hadits di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Jika mereka
mempercayai semua hadits dalam kitab-kitab tersebut, mereka akan menemukan
banyaknya kontroversi di kalangan sahabat Rasulullah dalam masalah nikah
mut’ah. Sebagian hadits dalam kedua
kitab tersebut mengatakan bahwa masih banyak sahabat Rasulullah Saww yang tetap
mempercayai bahwa nikah mut’ah dihalalkan bahkan setelah Rasulullah wafat
dengan menyebutkan ayat penjelas masalah ini. Lalu bagaimana mungkin mereka
mempercayai semua hadits dalam kedua kitab tersebut sementara mereka tidak
mempercayai hadits-hadits yang kami sebutkan sebelumnya.
Kita
terlalu gegabah untuk menerima hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (tentang
pelarangan nikah mut’ah) yang dinisbatkan kepada Imam ‘Ali as sebagai hadits
yang sahih, sementara riwayat yang lain yang juga dinisbatkan kepada Imam ‘Ali
as mengatakan hal yang sama sekali bertentangan. Kami hanya akan menerima hadits dalam Sahih
Bukhari yang tidak bertentangan dengan hadits mutawatir lainnya dalam kitab
tersebut dan juga dalam kitab lainnya. (Hadits-hadits Syi’ah maupun Sunni
sebagian besar adalah mutawatir kecuali hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
lawan masing-masing). Hal ini juga yang kami lakukan dalam menerima
hadits-hadits dari sumber Syi’ah sendiri. Jika kami menemukan hadits dari
sumber Syi’ah yang bertentangan dengan Alqur’an maupun Sunnah Rasulullah yang
sahih, maka kamipun akan menolaknya.
Pada
bagian keenam sampai bagian kedelapan nanti, kita akan mendiskusikan
peraturan-peraturan dan syarat-syarat dalam nikah mut’ah secara rinci.
Bagian Keenam
Persamaan dan Perbedaan
Nikah Mut’ah dan Nikah Da’im
Sebagian orang menilai
bahwa orang-orang Syi’ah yang melakukan nikah mut’ah bukanlah orang Islam
karena mereka belum pernah mendengar masalah ini, atau mungkin karna
orang-orang Syi’ah tidak tahu latar
belakang dan pelarangannya. Untuk menjawab tuduhan ini, saya ingin jelaskan
dengan merangkum penjelasan-penjelasan awal sebagai berikut.
1.
Nikah mut’ah bukanlah dibuat-buat oleh orang
Syi’ah.
2.
Allah telah memperbolehkan nikah mut’ah di
dalam Alqur’an (Surah 4:24)
3.
Berdasarkan sumber-sumber Sunni yang otentik,
banyak sahabat Rasulullah yang tidak sependapat tentang pelarangan nikah
mut’ah. Ini berarti Syi’ah sependapat dengan mereka.
4.
Meskipun telah disebutkan banyak riwayat
tentang pelarangan nikah mut’ah, tetapi riwayat-riwayat itu mengandung
kontradiksi satu sama lain. Kontadiksi ini mengindikasikan bahwa
riwayat-riwayat tersebut hanyalah pandangan pribadi, hanya untuk membenarkan
keadaan yang terjadi sekarang seperti yang diyakini oleh orang Sunni. Di
samping itu, riwayat yang banyak tersebut bertentangan dengan tiga item di
atas. Semestinya hadits-hadits tersebut harus dikompromikan dengan Alqur’an,
bukan dengan yang lain. Dan Alqur’an haruslah menempati urutan teratas dalam
perujukan.
Oleh
karena itu, kami ingin meyakinkan mazhab Sunni bahwa nikah mut’ah juga diperbolehkan
bagi mereka sebagai salah satu sunnah Rasulullah Saww. Kami juga ingin
menunjukkan bahwa pendapat mazhab Syi’ah dalam masalah ini mempunyai
justifikasi yang kuat di dalam Alqur’an dan hadits, mempunyai latar belakang
historis, serta sesuai dengan ajaran Islam. Setidaknya kami ingin menerangkan
bahwa nikah mut’ah dihalalkan, tergantung kepada sahabat Rasulullah Saww yang
mana yang kita ingin ikuti.
Pada
bagian ini dan dua bagian terakhir, kami ingin membicarakan lebih luas tentang
nikah mut’ah, batasan-batasannya, peraturan-peraturannya, manfaatnya, dan untuk
menjawab beberapa pertanyaan tentang nikah mut’ah yang sering diajukan yang
kami terima dari orang-orang Sunni.
Sebelumnya kami ingin
memberikan catatan bahwa, apapun yang kami jelaskan dalam bagian ini dan bagian
selanjutnya hanyalah sebuah penjelasan teoritis, dan janganlah dianggap sebagai
fatwa dalam hukum agama. Bagi yang berminat, silahkan menghubungi marja’ Syi’ah
atau membaca buku yurisprudensi Syi’ah dalam masalah ini untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tuntas
menyangkut batasan-batasan dan peraturan-peraturannya.
Nikah
mut’ah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang hampir sama dengan
perjanjian dalam nikah da’im. Ucapan-ucapan yang sama (sebagai bagian dari
rukun dan syaratnya, pent.) yang harus diucapkan oleh kedua orang tersebut,
atau bisa juga diwakilkan kepada orang-orang tertentu sebagai walinya, harus
dilakukan dalam dua jenis pernikahan ini, termasuk penetapan (jenis dan jumlah)
mahar. Di dalam nikah mut’ah, batasan waktu pernikahannya (misalnya satu tahun,
satu bulan) harus dinyatakan dengan jelas. Setelah waktu yang disepakati itu
berakhir, pasangan suami istri itu harus memperpanjangnya lagi; kalau tidak,
maka mereka berpisah secara otomatis berdasarkan syari’at, dan selanjutnya
perempuan tersebut memasuki masa iddah sebelum dia dapat menikah lagi.
Mahar
(sidaq) dalam pernikahan itu harus ditetapkan pada saat perjanjian (dan ‘aqd).
Mahar itu dapat berupa sejumlah uang, pekerjaan tertentu yang harus dilakukan
misalnya harus mengajar ilmu tertentu, atau berupa cincin dan gelang yang harus
diperlihatkan dan dijelaskan jumlahnya (kepada perempuan). Untuk mahar yang
tidak dapat diperlihatkan pada saat ‘aqd, maka mahar tersebut harus disebutkan
sejelas mungkin sehingga perempuan tidak salah pengertian tentang mahar yang
akan diberikan kepadanya.
Umumnya
dalam nikah mut’ah, kebanyakan pasangan tidak menginginkan anak. Tapi jika dalam keadaan itu tanpa sengaja
sang istri kemudian hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinisbatkan
kepada bapak dan ibu mereka secara sah. Dengan demikian, seluruh hukum yang
berlaku dalam pernikahan da’im (menyangkut hubungan orang tua dan anak, pent.)
juga akan berlaku terhadap anak tersebut.
Hubungan
antara suami dan istri dalam pernikahan mut’ah sampai masa perjanjian mereka
berakhir, sama dengan hubungan suami istri dalam pernikahan da’im. Di dalam
kitab al-Jawahir (ensiklopedi Syi’ah yang paling besar), penulisnya mengatakan
: “Pada dasarnya, hukum yang berlaku dalam nikah mut’ah sama dengan nikah
da’im, kecuali batasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya.”
Sebagai
contoh, seperti halnya dalam nikah da’im, di dalam nikah mut’ah seorang gadis
harus meminta persetujuan walinya yang biasanya adalah bapak gadis tersebut sebelum
melakukan ‘aqd. Imam ‘Ali Ridha as berkata: “Seorang gadis tidak boleh
dinikahi secara mut’ah tanpa persetujuan
bapaknya.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, hal. 458). Dan bagi perempuan yang sudah
pernah bersuami sebelumnya, maka dia dapat menikah mut’ah tanpa persetujuan
walinya, meskipun izin dari walinya tetap sangat dianjurkan.
Nikah
mut’ah dapat dilakukan baik dengan perempuan muslim maupun dengan perempuan
ahlul kitab yaitu Kristen dan Yahudi. Jika perempuan ahlul kitab itu masih
gadis, maka tetap diperlukan persetujuan walinya meskipun walinya bukan seorang
muslim. Pada kondisi tertentu dimana seorang wali tidak memperdulikan
kepentingan anak walinya, seorang marja’ (atau hakim pada sebuah pemerintahan
yang menggunakan syari’at Islam) dapat menikahkan gadis tersebut. Dalam kasus
ini, persyaratan perwalian bapaknya digantikan oleh marja’ atau hakim. Hal ini
juga berlaku dalam pernikahan da’im.
Perempuan
yang tidak mempercayai Tuhan (atheis) atau perempuan yang terang-terangan
mengutuk, mengingkari atau membenci ahlul bait, atau perempuan yang mempunyai
keyakinan ekstrim (misalnya menganggap Imam ‘Ali sebagai Tuhan), maka
pernikahan dengan mereka tidak
diperbolehkan. Demikian juga, seorang perempuan muslim tidak diperbolehkan
menikah dengan laki-laki non muslim.
Menikah
mut’ah dengan seorang pelacur meskipun perbuatannya tidak diketahui oleh orang
banyak hukumnya makruh. Bahkan, pendapat konservatif mengharamkan menikahi
seorang pelacur apapun keadaannya. Demikian juga, menikah mut’ah dengan seorang
perempuan pezina yang dikenal orang banyak sebagai pelacur hukumnya haram,
kecuali perempuan tersebut benar-benar sudah menyesali perbuatannya dan telah
bertobat. Pertobatannya dapat diketahui dari penolakannya jika dia diajak untuk
berbuat dosa kembali. Hal ini menunjukkan i’tikad baiknya untuk benar-benar
bertobat dan menyadarkan jiwanya. Dan diharapkan, dengan melakukan nikah
mut’ah, maka dia menemukan seseorang yang dapat membimbingnya ke jalan yang
benar. Namun, menikahi perempuan yang rendah hati, sopan, sederhana, sabar,
tidak serampangan dan bukan perempuan
rendahan tetap sangat dianjurkan.
Anjuran ini berlaku baik untuk nikah da’im maupun nikah mut’ah.
Seorang
laki-laki muslim sangat dianjurkan untuk menikah mut’ah dengan perempuan muslim
yang suci (‘afifah). Suci dalam
pengertian ini adalah perempuan yang tidak pernah melakukan perzinaan,
menjalankan syari’at Islam dengan baik dalam kehidupannya sehari-hari, dan
secara umum dia adalah perempuan yang jujur dan bersikap lurus. Dua syarat
perempuan yang boleh dinikahi yaitu muslim dan suci ini disebutkan dalam hadits
berikut.
Imam ‘Ali Ridha as pernah
ditanyai: ”Apakah seorang laki-laki dibolehkan menikah mut’ah dengan perempuan
Kristen atau Yahudi?” Menjawab pertanyaan ini Imam ‘Ali Ridha as berkata: “Saya
lebih menyukai laki-laki tersebut menikah mut’ah dengan seorang perempuan
muslim yang merdeka.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, hal. 452).
Untuk
masalah yang sama, Imam Ja’far menjawab: “Hal itu dibolehkan. Maka, janganlah
kamu menikah kecuali dengan perempuan yang suci seperti yang telah difirmankan
oleh Allah: ‘Dan mereka yang menjaga kemaluannya……’ (23:5). Oleh karena itu janganlah kamu menempatkan
kemaluanmu pada tempat yang kamu anggap tidak aman untuk menyimpan uangmu.” (Wasa’il
al-Syi’ah, V14, hal. 452)
Lantas bagaimana caranya untuk mencari perempuan yang
rendah hati dan sabar? Dalam kasus ini, jika ada seorang laki-laki yang ragu
dengan seorang perempuan yang ingin dinikahi secara mut’ah, dia dapat
mengujinya (dengan cara yang baik). Banyak cerita yang kita dengar bahwa
seorang perempuan merasa heran ketika diajak berbuat zina oleh laki-laki
beriman. Perempuan tersebut berpikir bahwa yang dimaksud laki-laki itu adalah
melakukan dosa hanya dengan mengucapkan sesuatu (yang dilarang). Dia tidak
mengerti bahwa sebenarnya dia sedang diuji (oleh laki-laki yang ingin
menikahinya) yang tidak bermaksud untuk berbohong sama sekali. Pertanyaan itu
hanyalah sebuah pertanyaan biasa, bukan keinginan untuk melakukan dosa. Masalah
ini pernah ditanyakan oleh Abdullah Ibn Ya’fur
kepada Imam Ja’far as apakah dia dapat menikah mut’ah dengan perempuan yang tidak dikenalnya, Imam
menjawab: “Seseorang dapat mengajak perempuan tersebut untuk melakukan dosa,
jika perempuan tersebut menerimanya, maka janganlah dia menikahinya.”
Jika
seorang laki-laki mencurigai (status) seorang perempuan, maka sebaiknya sebelum
dia menikah mut’ah dengan perempuan tersebut, dia harus menanyakan kondisinya,
misalnya apakah dia sudah bersuami atau tidak, atau apakah dia masih suci.
Tetapi secara umum, menanyakan masalah ini kepada calon istri bukanlah
keharusan dari sebuah perjanjian (Jawahir, V5, hal. 165). Namun, aturan
hukum tentang “prinsip tindakan seorang muslim yang harus benar” mensyaratkan
seseorang untuk mempertimbangkan pilihan menikah mut’ah dengan seorang
perempuan yang sudah siap melakukannya, apakah benar atau tidak. Berdasarkan
prinsip ini, ketika kita meragukan tindakan seorang muslim, maka kita harus
menganggapnya benar baik secara hukum maupun secara sosial, kecuali tindakannya
jelas-jelas sudah terbukti salah.
Beberapa hadits menunjukkan bahwa makruh hukumnya menanyakan status perempuan
setelah pernikahan.
Nikah
mut’ah tidak dianjurkan jika nikah da’im memungkinkan. Ali Ibn Yaqtin ra yang
telah menikah suatu waktu pernah bertanya kepada Imam ‘Ali Ridha tentang nikah
mut’ah. Imam memberi saran kepadanya: “Mengapa kamu ingin mengganggu
(pernikahan da’immu dengan pernikahan mut’ah, pent.) jika Allah sudah
memberikan yang lebih baik bagimu (yaitu istri yang telah kamu nikahi secara
da’im) ?”
Suatu kali
Imam ‘Ali Ridha juga ditanya masalah nikah mu’tah dan Imam berkata: “Nikah
mut’ah itu jelas dihalalkan bagi orang yang belum menikah (da’im), (dalam
keadaan sendiri itu) dia dapat mengambil
jalan (pintas) yang layak dengan melakukan nikah mut’ah. Jika dia sudah menikah
secara da’im, maka dia diperbolehkan menikah mut’ah hanya jika dia jauh dari
istrinya (misalnya dalam sebuah perjalanan).”
Imam ‘Ali
Ridha as juga pernah menulis pesan kepada pengikutnya: “Kalian harus
mempertahankan hukum Islam, dan janganlah kalian melakukan nikah mut’ah jika
hal itu akan menjauhkanmu dari istri da’immu sehingga dia mungkin meninggalkan
keyakinan (kepada ahlul bait, pent.) dan menyalahkan kita semua.”
Beberapa
marja’ menganjurkan bahwa pilihan di atas (yakni menikah mut’ah jika sudah mempunyai istri da’im, pent.) sebaiknya
tidak dilakukan meskipun tidak dilarang. Hal ini berdasarkan pada beberapa
hadits yang (tetap) memperbolehkannya walaupun tetap tidak dianjurkan jika
seseorang telah mempunyai istri da’im.
Seperti
yang telah kami sebutkan sebelumnya, ada beberapa perbedaan antara nikah da’im
dan nikah mut’ah. Berikut ini akan kami berikan beberapa perbedaan tersebut.
1. Nikah mut’ah tidak mensyaratkan hubungan
badan (jima’)
Pasangan
yang hendak melakukan nikah mut’ah dapat menentukan suatu syarat pada saat
perjanjian bahwa pernikahan mereka tidak akan mensyaratkan percampuran atau
hubungan badan (jima’). Syarat seperti ini tidak dapat dilakukan dalam
pernikahan da’im. Menurut hukum agama, dalam pernikahan da’im, istri wajib
memenuhi kebutuhan seksual suaminya sementara suami harus tidur bersama
istrinya tidak boleh lebih dari empat hari sekali dan harus mencampuri istrinya
minimal sekali dalam empat bulan.
Kewajiban seksual seperti
itu tidak disyaratkan di dalam pernikahan mut’ah karena fungsinya memang telah
ditentukan untuk hal-hal yang lain seperti yang akan didiskusikan nanti. Jika
pasangan mut’ah telah menetapkan bahwa mereka tidak akan melakukan hubungan
seksual, maka mereka hanya dapat menikmati hubungan suami istri yang lain. Jika
pada akhirnya istri menyetujui hubungan seksual, maka perjanjian (untuk tidak
melakukan hubungan seksual, pent.) ini dapat dibatalkan dan akhirnya mereka
bisa bercampur dan melakukan hubungan seksual. Ketidakbolehan melakukan hubungan
seksual ini didasarkan pada pelarangan yang diinginkan oleh istri untuk tidak
melakukan hubungan suami istri yang tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya.
Tetapi, pernikahan mut’ah sendiri tetap membolehkan hubungan seksual suami
istri jika hal seperti itu telah disepakati pada waktu perjanjian
sebelumnya. Jika kesepakatan untuk tidak
melakukan hal-hal tertentu dalam nikah mut’ah ditiadakan, maka hubungan suami
istri tersebut sama dengan di dalam nikah da’im. Akan tetapi, ada beberapa hal
yang tidak dapat dibatalkan oleh keinginan perempuan sendiri (misalnya izin
untuk menikah jika perempuan tersebut masih gadis). (Lihat Matajir, V2,
hal. 300, Riyadh, V2, hal. 116).
Dengan
kata lain, jika sudah ditetapkan tidak akan ada hubungan seksual, maka perjanjian
itu adalah hak istri. Jika istri ingin dan bersedia membatalkannya, maka
perjanjian itu dapat dibatalkan dan hubungan seksual dapat dilakukan dalam
nikah mut’ah tersebut.
2. Nikah mut’ah dengan seorang gadis
Meskipun
seorang gadis dapat melakukan hubungan seksual jika dia menikah mut’ah dengan
persetujuan walinya, hubungan nikah mut’ah seperti ini hukumnya makruh
mu’akkad. Imam Ja’far as pernah menjelaskan masalah ini dalam sebuah hadist
dengan memberikan sebuah alasan bahwa “hal itu dapat merusak nama
keluarga.” Dalam praktiknya, kebanyakan
orang tua Muslim tidak mengizinkan anak gadisnya melakukan nikah mut’ah seperti
itu. Secara umum, jika seorang gadis hendak menikah mut’ah, maka baginya
diperbolehkan untuk menetapkan syarat bahwa selama dalam perkawinannya, mereka hanya diperbolehkan bertemu satu sama lain jika ditemani oleh oleh orang
tua mereka.
Namun,
pada kondisi tertentu, nikah mut’ah dengan seorang gadis tanpa batasan hubungan
suami istri tertentu dapat dibolehkan jika walinya mengkhawatirkan anak
gadisnya untuk melakukan perzinahan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan watak
anak gadisnya serta pengaruh lingkungan, sementara laki-laki yang baik yang mau
menikahinya secara da’im belum ada.
3. Warisan
Di dalam nikah mut’ah,
suami istri tidak mewarisi satu sama lain meskipun anak-anak yang lahir dari
pernikahan mereka tetap memperoleh
warisan dari orang tuanya. Imam Ja’far as berkata: “Di antara aturan
nikah mut’ah adalah kamu tidak mewarisi istrimu dan istrimu tidak mewarisi
kamu.” (Wasa’il al-Syi’ah, V4, hal. 486)
Akan tetapi, meskipun
peraturannya demikian, suami istri dalam nikah mut’ah tetap dapat mewarisi satu
sama lain jika hal itu sudah ditetapkan pada waktu ‘aqd. Demikian juga
dibolehkan pewarisan satu sisi saja, yaitu hanya suami yang bisa mewarisi istri
atau sebaliknya.
Ada dua alasan pengaturan
warisan yang dapat dimasukkan sebagai syarat nikah mut’ah pada waktu
perjanjian. Pertama, pernyataan umum yang disampaikan oleh Rasulullah Saww
yaitu: “Orang beriman akan memegang teguh janji yang telah diucapkannya.”
(Sahih Bukhari, V3, p120), dan yang kedua seperti yang telah dipesankan oleh
Imam Ja’far as: “Jika mereka mensyaratkan warisan di dalam perjanjian nikah
mut’ah, maka mereka harus melaksanakannya.” (Wasa’il al-Syi’ah, v4, hal.
486).
4. Nafkah
Di dalam nikah mut’ah,
seorang suami tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya (sebagaimana
di dalam nikah da’im) tetapi wajib menafkahi anak-anaknya. Namun jika pemberian
nafkah itu dipersyaratkan pada waktu perjanjian, maka pemberian nafkah menjadi
kewajiban suami kepada istrinya.
5. Masa Iddah
Setelah masa nikah mut’ah
berakhir, maka seorang perempuan memasuki masa tunggu (iddah) yang harus dilaluinya untuk bisa menikah lagi seperti halnya
aturan iddah pada pernikahan da’im setelah thalaq. Masa iddah ini berlaku hanya
jika dalam nikah mut’ah itu dilakukan hubungan seksual. Adapun rentang masa
iddah itu sedikit berbeda satu sama lain sesuai dengan kasus dalam pernikahan
tersebut. Masa iddah nikah mut’ah sama dengan masa iddah pernikahan dengan
seorang budak yang berbeda dengan masa iddah pada pernikahan da’im. Hal ini
didasarkan pada asumsi bahwa nikah mut’ah, seperti halnya nikah dengan seorang
budak, lebih ringan daripada nikah da’im.
Rentang masa iddah nikah
mut’ah adalah dua siklus haid (sekitar dua bulan) jika perempuan tersebut
mengalami haid. Jika perempuan tersebut masih dalam usia haid tetapi tidak
mengalami haid karena alasan tertentu, maka masa iddahnya adalah 45 hari.
(Harus ditekankan bahwa melakukan hubungan seksual dengan gadis yang belum
mengalami masa puber (atau haid) sangat dilarang dalam Islam).
Imam Al’Baqir as berkata: “
Masa iddah perempuan (merdeka) yang dijatuhi thalaq adalah tiga bulan,…..dan
masa iddah istri dalam nikah mut’ah sama dengan masa iddah seorang budak.” (Wasa’il
al-Syi’ah, V14, hal. 484).
Diriwayatkan dari Imam
Al-Baqir as dan Imam Musa as bahwa: “Untuk menceraikan seorang istri yang bukan
perempuan merdeka (budak), seseorang harus mengucapkan (kalimat) thalaq dua
kali, demikian pula masa iddahnya dua kali periode haid.” (Wasa’il al-Syi’ah,
V15, p469). Jika perempuan tersebut
hamil, maka masa iddahnya adalah sampai dia melahirkan anaknya dimana waktu
tersebut tidak lebih pendek dari masa iddah yang normal (jika perempuan
tersebut tidak hamil, pent) (Lihat al-Fiqh ala al-Madzahib al-Khamzah,
oleh Muhammad Jawad Mughniyah).
Pada kasus normal dimana
seorang perempuan (merdeka) dijatuhi thalaq, di dalam Alqur’an jelas dikatakan
bahwa masa iddahnya adalah tiga periode haid. Berdasarkan pendapat semua
mazhab, di dalam nikah mut’ah tidak ada thalaq. Setelah masa nikah mut’ah
tersebut berakhir, maka suami istri akan secara langsung berpisah satu sama
lain tanpa thalaq. Di dalam pernikahan
da’im sendiri, masa iddah perempuan tidak selamanya tiga bulan untuk
perceraian yang bukan karena thalaq. Sebagai contoh, lihat Qur’an surah 2:234
yang menjelaskan masa iddah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya.
Secara umum, Alqur’an hanya
menjelaskan peraturan-peraturan secara garis besar saja, sementara untuk perinciannya
dijelaskan oleh Rasulullah Saww. Sebagai contoh, Alqur’an tidak menjelaskan
bahwa kita harus melakukan shalat di saat fajar dan bagaimana cara
melakukannya. Tetapi Rasulullah Saww menjelaskan masalah itu secara rinci
berdasarkan wahyu dari Allah Swt namun bukan merupakan ayat-ayat di dalam
Alqur’an. Inilah sunnah Rasulullah Saww
yang dijaga dan diteruskan oleh ahlul baitnya alaihimus salam.
Kita diwajibkan untuk
mengikuti semua peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasulullah
Saww tanpa perlu bertanya latar belakang penetapan peraturan tersebut.
Peraturan-peraturan ini telah ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan dan
kebijaksanaan Allah Swt. Meskipun kita
dapat membuktikan beberapa alasan penetapan suatu hukum oleh Allah Swt dengan
menggunakan prinsip-prinsip logika, tetapi pembuktian itu tidak dapat diklaim
sebagai satu-satunya alasan penetapan hukum tersebut. Allah Swt telah
berfirman: “Sesungguhnya tidaklah kamu
diberi pengetahuan kecuali sedikit.”
Adapun tujuan masa iddah
yang dapat dimengerti berdasarkan logika manusia yang sederhana adalah:
1.
Jika perempuan yang diceraikan sedang hamil, maka
kehamilannya sudah dapat diketahui paling lambat dalam dua bulan pertama
kehamilannya.
2.
Jika tidak, maka masa iddah itu dapat digunakan
sebagai masa istirahat dan persiapan psikis seorang perempuan untuk memasuki
paruh hidup yang baru. Masa iddah merupakan waktu yang cukup sebagai masa
peralihan dari suatu kondisi ke kondisi lain yang berbeda.
3.
Pada banyak kasus dalam pernikahan da’im, thalaq umumnya didahului
dengan perselisihan antara suami dan istri. Perceraian mereka akhirnya membawa
kekecewaan. Kadang-kadang, setelah
berpisah dalam waktu yang cukup lama, mereka sadar kembali bahwa ternyata
mereka masih saling mencintai dan saling membutuhkan serta apa yang telah
mereka lakukan sebelumnya bukanlah pilihan yang tepat. Masa iddah dapat
digunakan sebagai waktu untuk berpikir kembali tentang apa-apa yang telah
mereka lakukan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Dan jika memungkinkan,
mereka dapat rujuk kembali sebelum perempuan yang telah dijatuhi thalaq
tersebut menikah dengan laki-laki yang
lain.
Khusus untuk nikah mut’ah,
kasus nomor tiga di atas tidak terjadi. Pasangan suami istri dalam nikah mut’ah
dari awal sudah mengetahui satu sama lain bahwa mereka akan berpisah setelah
waktu tertentu. Oleh karena itu, mereka tidak akan merasakan kekecewaan setelah
perpisahan mereka. Mereka tidak memerlukan waktu khusus untuk memikirkan
kemungkinan rujuk, ataupun tidak harus kecewa karena perpisahan itu seperti
halnya yang sangat sering terjadi dalam
perceraian nikah da’im. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan, mengapa masa
iddah dalam nikah mut’ah lebih pendek daripada masa iddah setelah thalaq dalam
nikah da’im. Dan seperti yang telah kita ketahui, masa iddah dalam nikah mut’ah
sama dengan nikah dengan budak perempuan.
Menurut salah satu riwayat
dari sumber Sunni: “Ibn Abbas suatu waktu ditanya, ‘apakah mut’ah termasuk zina
atau pernikahan?’ Beliau menjawab, ‘Bukan termasuk keduanya.’ Penanya kemudian
melanjutkan, ‘Lalu termasuk apakah nikah mut’ah itu?’ Ibn Abbas berkata:
‘mut’ah adalah mu’tah, seperti yang dikatakan oleh Allah.’ Penanya bertanya
lagi: ‘apakah ada masa iddah dalam nikah mut’ah?’, Ibn Abbas menjawab: ‘Ya,
satu kali periode haid.’ Kemudian Ibn Abbas juga ditanya, ‘apakah suami istri
saling mewarisi?’ Ibn Abbas menjawab: ‘tidak.’ Lihat Tafsir al-Kabir oleh
Fakhr al-Razi, V3, hal. 286
Pada hadits di atas, dengan
menisbatkan kepada Ibn Abbas, masa iddah setelah nikah mut’ah berakhir hanya
satu bulan. Namun, riwayat ini tidak diterima karena banyaknya riwayat lain
dari Imam Ahlul Bait yang menyebutkan bahwa masa iddah setelah nikah mut’ah
berakhir adalah dua bulan.
6. Periode Nikah Mut’ah.
Periode nikah mut’ah harus
dinyatakan dengan jelas pada saat ‘aqd tanpa kemungkinan perpanjangan maupun
pengurangan waktu tersebut. Imam ‘Ali
Ridha as berkata: “…nikah mut’ah harus ditetapkan untuk waktu yang tertentu.” (Wasa’il
al-Syi’ah, V14, p479). Imam juga pernah ditanya tentang kemungkinan
melakukan nikah mut’ah hanya dalam waktu satu atau dua jam, Imam menjawab:
‘Tidak ada batasan waktu yang jelas dari (hanya) satu atau dua jam (saja).’ (Wasa’il
al-Syi’ah, V14, hal. 479)
Berdasarkan pendapat
beberapa mazhab, jika periode nikah mut’ah tidak dinyatakan dalam perjanjian,
maka nikah mut’ah tersebut tidak dapat dilakukan dan perjanjian dianggap tidak
sah. (Lihat Matajir, V2, hal. 299; Syarh al-Lum’a, V5, hal. 287; Jawahir,
V5, hal. 169). Sementara itu, beberapa mazhab yang lain berpendapat, jika periode nikah mut’ah tidak dinyatakan
dalam perjanjian, maka nikah tersebut dianggap nikah da’im sehingga perceraian
hanya dapat terjadi karena kematian atau karena thalaq. Dalam kasus ini,
seluruh hukum nikah da’im berlaku di dalamnya. Pendapat ini didasarkan pada
hadits yang berasal dari Imam Ja’far: “Jika periode nikah ditetapkan, maka
nikah itu adalah nikah mut’ah. Sebaliknya, jika periode tidak ditetapkan, maka
nikah itu adalah nikah da’im.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, hal. 469).
Al-Syahid al-Thani mengomentari hadits ini dengan menjelaskan bahwa, tidak
mungkin dua orang bermaksud melakukan
nikah mut’ah tetapi lupa menetapkan periodenya. Sebaliknya, hadits ini
menjelaskan bahwa nikah mut’ah adalah nikah yang menetapkan periode nikah,
sementara nikah da’im tidak menetapkan batas waktunya. (Syarh al-Lum’a,
V5, hal. 287)
Tidak ada batasan minimal
maupun batasan maksimal dalam penetapan periode nikah mut’ah. Secara umum, tidak ada perbedaan antara periode yang
sangat panjang sehingga orang menganggap nikah mut’ah tersebut akan berlanjut
selama-lamanya, dengan periode yang sangat pendek sehingga tidak ada
kemungkinan waktu bagi suami istri untuk bercampur satu sama lain. Dengan kata
lain, periode nikah mut’ah dapat ditentukan secara spesifik sesuai dengan
kesepakatan dan persetujuan kedua belah pihak. (Syarh al-Lum’a, V5, hal.
287).
Ada beberapa riwayat yang
menunjukkan dibolehkannya percampuran antara suami istri dalam nikah mut’ah
segera setelah ‘aqd ataupun percampuran yang ditunda sampai waktu tertentu. (Wasa’il
al-Syi’ah, V14, hal. 446). Jika di
dalam perjanjian disepakati penundaan percampuran, waktu percampuran itu harus
ditentukan secara spesifik hari dan bulannya. Sebagai contoh, jika laki-laki
bermaksud melakukan nikah mut’ah selama sebulan tetapi tidak menyatakan dengan
jelas bulan apa periode nikah mut’ah itu
akan dimulai, maka perjanjian itu dianggap tidak sah karena tidak jelas
waktunya. Tetapi jika dalam bulan itu ‘aqd dilakukan dan periodenya ditetapkan
hanya satu bulan saja tanpa adanya
penundaan percampuran, maka periode nikah dianggap dimulai segera setelah ‘aqd
tersebut dan pernikahan dianggap sah. (Lihat Matajir, V2, hal. 300 dan Jawahir,
V5, hal. 171).
7. Mahar dan Penyempurnaan Pernikahan
Di dalam nikah da’im,
penyempurnaan pernikahan berarti percampuran dengan melakukan hubungan seksual
antara suami istri. Akan tetapi, di dalam nikah mut’ah penyempurnaan itu
mempunyai arti yang lain. Penyempurnaan pernikahan dalam nikah mut’ah berarti
penyempurnaan periode nikah yang telah ditetapkan pada saat perjanjian.
Maksudnya, suami istri tetap bersama-sama dan berhubungan sesuai dengan
perjanjian sampai periode nikah mut’ah yang telah disepakati berakhir. Oleh
karena itu, penyempurnaan periode nikah mut’ah juga harus dibicarakan dalam
konteks pemberian mahar. (Masalik, V1, hal. 538)
Maksud penjelasan di atas
adalah, jika ‘aqd telah dilakukan, maka istri berhak menerima mahar seluruhnya
meskipun suami tidak akan menyempurnakan
periode pernikahan mereka. Jika periode
nikah mut’ah telah dimulai, hal itu berarti istri berhak mendapatkan mahar
seluruhnya. Istri berhak mendapatkan mahar jika dia memenuhi kewajibannya
terhadap suami sesuai dengan perjanjian dan menemani suaminya menyempurnakan
periode nikah mereka. Setelah periode itu berakhir, maka istri bebas dari semua
kewajiban yang ditetapkan di dalam perjanjian. (Lihat Matajir, V2, hal.
300; Jawahir, V5, hal. 170). Jika pada waktu perjanjian disepakati tidak
ada hubungan seksual, maka secara hukum agama, istri tidak diwajibkan melayani
suaminya dalam hubungan seksual tetapi dia tetap berhak mendapatkan mahar.
Pada saat periode nikah
mut’ah dimulai, istri berhak meminta mahar seluruhnya. Dalam kasus ini, suami
tidak boleh meminta maharnya kembali dalam keadaan bagaimanapun kecuali karena
beberapa kasus dimana nikah mut’ah dianggap tidak sah. Ada banyak riwayat yang
menegaskan masalah ini dengan jelas. (Wasa’il al-Syi’ah, V14, hal.
482-483).
Jika suatu perjanjian telah
disetujui, namun sebelum periode nikah mut’ah dimulai, laki-laki bermaksud
tidak melanjutkan periode nikah mereka dan ingin “mengembalikan” periode itu
kembali kepada perempuan, maka perempuan tersebut berhak mendapatkan setengah
mahar. Ketentuan ini sama dengan yang berlaku pada penikahan da’im dimana
thalaq dijatuhkan sebelum suami dan istri bercampur satu sama lain. (Syarh
al-Lum’a, V5, hal. 285; Syara’i, V2, hal. 24; Matajir, V2,
hal. 300 dan Masalik, V1, hal. 538)
Ketika penyempurnaan
periode nikah mut’ah dibicarakan dalam konteks mahar, maka jika seorang
perempuan yang telah terikat dengan nikah mut’ah ingin berpisah dengan suaminya
berdasarkan keinginannya sendiri sebelum periodenya berakhir, maka suami berhak
mengurangi jumlah mahar sesuai dengan perbandingan periode nikah mut’ah yang
telah dilalui dengan periode yang telah disepakati sebelumnya. (Syarh
al-Lum’a, V5, hal. 285) Sebagai contoh, mahar seorang perempuan sebesar 300
ribu rupiah dengan periode nikah selama 30 hari. Jika pada hari ke-20 istri
bermaksud meninggalkan suaminya, maka suami berhak mengurangi mahar sepertiga
bagian. Jika selama periode nikah itu istri tidak memenuhi kewajibannya kepada
suami, maka dia tidak berhak mendapatkan mahar. Banyak riwayat yang telah
menjelaskan masalah ini. Salah satunya adalah, Imam Ja’far as pernah ditanya
apakah diperbolehkan mengambil sebagian mahar (jika dalam nikah mut’ah, pent.)
istri gagal memenuhi kewajibannya. Imam Ja’far as menjawab: “Kamu diperbolehkan
mengambil kembali apa yang kamu bisa ambil (yaitu mahar yang belum kamu
berikan). Dan jika dia telah mengingkari janjinya, ambillah darinya (sesuai
dengan perbandingan) periode yang tidak ditepatinya” (Wasa’il al-Syi’ah,
V14, hal. 481)
Akan tetapi, jika istri
tidak bisa memenuhi kewajiban seksualnya terhadap suami karena sebab-sebab yang
ditentukan oleh syari’at misalnya haid atau ketakutan pada tekanan (semacam
sindrom psikologis, pent.), maka dia tetap berhak atas mahar seluruhnya.
Seorang laki-laki datang menemui Imam Ja’far dan berkata: “Saya telah menikah
mut’ah dengan seorang perempuan untuk satu bulan dengan mahar tertentu. Tetapi,
perempuan itu datang kepada saya hanya beberapa waktu saja dan waktu lainnya di
meninggalkan saya.” Imam Ja’far as menjawab: “Sejumlah mahar yang telah kamu
berikan kepadanya harus dikembalikan kepadamu sesuai dengan (perbandingan)
waktu dia meninggalkan kamu, kecuali hari-hari ketika dia mengalami haid, maka
hari itu menjadi miliknya.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, hal. 481)
Jika periode nikah mut’ah
telah disempurnakan dan perempuan menyadari bahwa pernikahan itu tidak sah,
maka dia tidak berhak mendapatkan mahar, apalagi jika dia seorang pelacur dan
(sesuai dengan hukum Islam), tidak ada mahar untuk hubungan yang tidak sah
(zina). Dalam kasus ini, jika laki-laki sudah memberikan mahar seluruhnya
kepada perempuan, maka perempuan tersebut harus mengembalikan secepat mungkin
ketika mereka mengetahui ketidaksahan pernikahan mereka. Jika dia sudah tidak
memiliki jumlah mahar itu lagi misalnya karena dicuri atau dibelanjakan, maka
dia sudah tidak wajib lagi mengembalikannya. (Matajir, V2, hal. 301 dan Syarh
al-Lum’a, hal. 287-288) Dan jika perempuan itu meninggal dunia dalam periode
mut’ah meskipun periode itu belum berakhir, maka dia tetap berhak atas mahar
seluruhnya, seperti yang berlaku dalam nikah da’im. (Syarh al-Lum’a, V5,
hal. 286)
Pada bagian berikutnya,
kita akan membicarakan urgensi dan manfaat nikah mut’ah, Insya Allah.
Bagian Tujuh
Urgensi dan TUJUAN
Nikah Mut’ah
Kebutuhan seksual adalah
salah satu jenis kebutuhan yang diciptakan oleh Allah Swt yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan manusia. Seperti halnya kebutuhan yang lain,
kebutuhan seksual ini harus diarahkan dan disalurkan. Pernikahan adalah jalan
yang telah diberikan oleh Allah Swt untuk menyalurkan kebutuhan seksual ini
agar tidak merusak kemaslahatan dan keselamatan ummat manusia. Nikah da’im
adalah nikah yang paling dianjurkan, akan tetapi ada beberapa kondisi dimana
nikah da’im yang dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan tidak dapat dilakukan.
Lantas apakah yang harus dilakukan dalam kondisi ini? Apakah kita menerima bahwa
Allah meninggalkan kita sendirian dalam
menangani masalah ini? Atau apakah kita mengharapkan suatu peraturan yang lain?
Jika kita tidak menerima nikah mut’ah, maka kita mempunyai dua pilihan:
1.
Seks bebas tanpa batasan moral dengan segala
konsekuensinya. Inilah yang terjadi di dunia Barat yang digembar-gemborkan oleh
media massa, film-film Hollywood dan lain-lain.
2.
Menekan keinginan seksual sampai pernikahan
da’im dapat dilakukan. Untuk pilihan ini, kita menghadapi beberapa masalah
yaitu:
a.
Kita tidak mungkin terus-terusan melakukannya
apalagi ketika kita diperhadapkan dengan aturan-aturan sosial.
b.
Katakanlah kita dapat melakukannya, tetapi
hal itu dapat memunculkan gangguan psikologis dan gejala-gejala lainnya.
Penekanan terhadap kebutuhan-kebutuhan alami seperti halnya kebutuhan seksual
bukanlah tindakan yang baik dan Islam tidak menyetujui tindakan tersebut.
Jelas bagi
kita bahwa solusi yang tepat adalah dengan membolehkan nikah mut’ah (sebelum
nikah da’im dapat dilakukan dengan persiapan yang matang). Nikah mut’ah dapat
dijadikan sebagai metode pengsucian hubungan laki-laki dan perempuan yang
saling mencintai dan saling suka yang lazim disebut pacaran dalam budaya
masyarakat kita sekarang ini. Sebenarnya, dua orang yang berbeda jenis
kelaminnya dapat hidup bersama tanpa terikat pernikahan, tetapi untuk
mensucikan hubungan tersebut (seperti yang ditetapkan oleh Allah, pent.) maka
mereka harus melalui lembaga pernikahan. Dalam pernikahan, suami istri tersebut
saling menyadari tanggung jawab masing-masing seperti yang telah diatur oleh
Allah Swt dan tidak mengikuti keinginan masing-masing. Mereka bertanggung jawab
kepada Allah Swt untuk tetap memegang komitmen. Dan dengan cara yang sama,
nikah mut’ah mensucikan hubungan laki-laki dan perempuan yang saling menyukai
seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Ada orang
yang menganggap bahwa riwayat dari Imam
Ali as yang mengatakan: “Seandainya Umar tidak melarang nikah mut’ah, maka
tidak akan ada seorangpun yang melakukan perzinahan kecuali orang yang
benar-benar rusak” tidak dapat diterima karena menunjukkan distorsi seksualitas
manusia. Kami ingin menjelaskan bahwa
bukan hanya laki-laki yang dapat melakukan perzinahan, oleh karena itu
perkataan Imam ‘Ali as di atas merujuk baik kepada laki-laki maupun
perempuan. Nikah mut’ah, seperti halnya
nikah da’im, memberi pengaruh bagi kedua belah pihak yang terikat di dalamnya,
dan diharapkan bahwa keduanya dapat mengambil manfaat (yang sama) dari hubungan
itu. Jika kita tidak membolehkan keduanya untuk mengambil manfaat itu
bersama-sama dalam kesetaraan dan keseimbangan, maka kemungkinan buruk dapat
menimpa keduanya.
Kelihatannya,
banyak orang yang tidak perduli dengan budaya Barat yang mengeksploitasi
ketelanjangan perempuan sebagai media iklan, sebuah budaya yan mereduksi nilai
etika dan kesucian seksualitas manusia. Setiap hari kita dapat menyaksikan
prilaku-prilaku yang mempertontonkan aurat diberbagai media massa. Bagi mereka,
menggunakan perempuan muda dan cantik setengah telanjang (yang dianggap sebagai
prototipe perempuan ideal) sebagai objek seksual dalam menjual bir, bukanlah
sebuah masalah dan tidak ada hubungannya dengan etika. Seorang perempuan rela
menjual kecantikannya kepada sebuah majalah untuk mencari karir yang terhormat dengan menyebut
profesinya sebagai seorang “model”.
Betapa “indahnya” istilah itu. Sebaliknya, pada saat yang sama, peran
seorang ibu yang tinggal di rumah dianggap tidak penting, kalau bukan dianggap
menurunkan derajat. Pacaran (dengan segala prilakunya) diterima sebagai bagian
dari budaya kebebasan dan perkembangan peradaban. Tapi ketika kita mulai bicara
tentang nikah mut’ah, mereka semuanya berteriak.
Beberapa
orang yang lain mempercayai bahwa hubungan pra-marital di dalam kebudayaan
Barat bukan hanya disebabkan oleh degradasi moral, tapi hal itu merupakan
konsekuensi perubahan kondisi sosial-ekonomi. Dulu, pernikahan adalah hal yang
sederhana dan usia pernikahan relatif rendah. Sekarang, di zaman semakin
kompleksnya struktur sosial manusia, seseorang tidak mungkin lagi mencapai
kemandirian ekonomi dalam waktu singkat, karenanya tidak mungkin memasuki lembaga pernikahan sebelum
usia tigapuluhan. Menurut pandangan ini, hanya ada satu cara untuk mencegah
hubungan pra-marital yakni dengan memperpanjang usia untuk memasuki pernikahan
sedikitnya lima belas tahun (dibandingkan dengan usia nikah sebelumnya).
Masalah pendidikan juga dianggap salah satu penyebab. Laki-laki maupun
perempuan, dianggap tidak dapat mencari pekerjaan (yang layak) jika mereka
tidak mempunyai keterampilan dan tidak berpendidikan sehingga mereka tidak
mungkin memiliki kemandirian finansial di usia muda. Inilah beberapa anggapan
mereka. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa memperpanjang usia layang adalah
tidak alami dan tidak dapat dipertahankan dalam kondisi sosial masyarakat
manapun. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa lembaga pernikahan di
dunia Barat mengalami kehancuran dalam tiga puluh tahun terakhir.
Saat ini,
banyak negara-negara Muslim yang mengalami perkembangan pesat. Tak bisa
dipungkiri, perkembangan ini akan menghadapkannya pada masalah-masalah yang
sama yang telah dihadapi oleh dunia barat. Tetapi, masyaratkat Muslim mempunyai
pilihan. Mereka mungkin saja akan mencoba berbagai usaha untuk menghadapi
perubahan yang serba tak terduga untuk mempertahankan nilai-nilai tradisinya,
tetapi semua itu akan sia-sia (tanpa solusi yang tepat). Atau, mereka dengan
semangat yang kuat menghadapi perubahan itu dengan mengambil inisiatif untuk
mempertahankan nilai-nilai Islam yang di antaranya adalah nikah mut’ah, sebagai
upaya dalam merespon perubahan-perubahan masyarakat dengan tetap mempertahankan
ruh ajaran Islam yang benar. Pilihan yang kedua adalah jawaban yang paling
tepat untuk masalah yang dihadapi dalam panjangnya usia layang saat ini. Kita
harus memberikan pilihan untuk melakukan sebuah hubungan (antara laki-laki dan
perempuan) dengan kesadaran sempurna atas nama Allah swt. Pilihan ini akan
mencegah kerusakan moral masyarakat yang diakibatkan oleh prilaku seks bebas
yang semakin memasyarakat di abad ini.
Berikut
ini akan kami jelaskan beberapa urgensi dan tujuan nikah mut’ah dalam sudut
pandang yang lebih luas.
Seperti
yang telah kami sebutkan, nikah mut’ah tidak selalu mensyaratkan hubungan
seksual. Nikah mut’ah dapat pula dilakukan dengan alasan- alasan yang lain
misalnya untuk saling mengenal lebih dekat (antara laki-laki dan perempuan). Di
dalam kehidupan sosial masyarakat Syi’ah saat ini, nikah mut’ah banyak
dilakukan oleh anak-anak remaja tanpa persyaratan diharuskannya bercampur satu
sama lain. Umumnya mereka melakukan hal ini sebelum memasuki nikah da’im tetapi
mereka belum saling mengenal dengan baik. Di samping itu, biasanya mereka
melakukan nikah mut’ah agar mereka lebih akrab satu sama lain termasuk keluarga
kedua belah pihak beberapa bulan sebelum mereka menikah da’im. Periode ini
biasanya disebut masa pertunangan, dan bagi masyarakat Syi’ah, calon pengantin
dalam periode ini akan melakukan nikah
mut’ah. (Sebenarnya tidak ada cara lain untuk pertunangan dalam Islam). Dalam
periode ini, biasanya calon pengantin laki-laki akan mengunjungi calon
pengantin perempuan dan sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga perempuan.
Mereka sudah menjadi muhrim (dimana laki-laki dan perempuan yang akan menikah
sudah dapat melihat satu sama lain tanpa hijab sebagai bagian dari perjanjian
nikah mut’ah mereka). Mereka bisa saling berbicara, belajar bersama, bercanda,
pergi piknik bersama orang tua mereka dan lain-lain. Mereka sebenarnya sudah
menjadi suami istri, tetapi mereka diperbolehkan melakukan sesuatu (seperti
dalam perjanjian) kecuali tidur bersama.
Praktek
nikah mut’ah seperti ini memberikan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan
(yang ingin menikah da’im) untuk lebih mengenal satu sama lain dan untuk saling
menjajaki apakah mereka akan menemukan kecocokan setelah mereka hidup bersama
nanti. Biasanya, jika mereka menemukan ketidakcocokan satu sama lain, mereka
dapat membatalkan pernikahan da’imnya
(jika ketidakcocokan itu tidak bisa diperbaiki, pent.) Hal ini dapat membantu
mengurangi kasus perceraian dalam nikah da’im yang umumnya membawa banyak masalah keluarga, terutama jika perceraian
itu terjadi pada sebuah keluarga yang telah memiliki anak-anak.
2. Masalah Perceraian (Thalaq).
Salah satu sudut pandang lain terhadap nikah mut’ah
adalah masalah thalaq. Di dalam Islam,
hak menjatuhkan thalaq hanya diberikan kepada suami dan tidak kepada istri. Di
samping itu, Islam juga tidak membenarkan seorang laki-laki bersama-sama dengan
perempuan sebelum mereka menikah. Lalu, jika satu-satunya jalan untuk
melegalkan hal itu hanyalah nikah da’im, maka konsekuensi yang tidak baik dapat
terjadi pada pihak perempuan. Lantas bagaimana misalnya jika setelah ‘aqd nikah
da’im dilakukan, seorang istri menemukan bahwa suaminya mempunyai kebiasaan
buruk yang merugikan dirinya? Bagaimana jika pernikahannya tidak akan
memberikan kebahagiaan karena moral suaminya yang buruk? Apakah istri harus
tetap melanjutkan kehidupan keluarganya tanpa pilihan yang lain? Haruskah istri
tetap hidup bersama dengan suami yang tidak bertanggung jawab? Untuk
pertanyaan-pertanyaan ini, di dalam nikah da’im, jawabannya adalah ya. Istri
tidak bisa menjatuhkan thalaq kepada suaminya kecuali suami yang ingin
menceraikannya. (Pada beberapa kasus, seorang marja’ atau hakim dapat
memberikan hak menjatuhkan thalaq kepada seorang istri jika dia mampu
menunjukkan alasan yang tepat seperti halnya suami yang tidak memenuhi hak-haknya sebagai istri,
suaminya mengalami lemah syahwat dan lain-lain. Tapi jika istri hanya tidak
menyukai suami (berdasarkan perasaan tertentu saja, pent), maka dia tetap tidak
bisa mendapatkan hak menjatuhkan thalaq. Di samping itu, prosedur untuk
mendapatkan hak menjatuhkan thalaq bagi seorang istri agak sulit apalagi
misalnya jika keputusan marja’ atau hakim tidak sesuai dengan keinginan istri
tersebut.)
Dengan
adanya nikah mut’ah, masalah hak menjatuhkan thalaq bagi seorang istri dapat
diselesaikan. Di dalam nikah mut’ah, suami istri dapat hidup bersama untuk
kurun waktu tertentu agar dapat saling menjajaki satu sama lain, sambil
mempertimbangkan kemungkinan untuk dapat melanjutkan hubungan mereka dalam
ikatan nikah da’im. Seperti yang telah kami katakan, pasangan nikah mut’ah
dapat menentukan pada saat perjanjian bahwa di dalam periode mereka tidak akan
ada hubungan seksual. Di samping itu, wali seorang gadis (yang melakukan nikah
mut’ah), dapat mensyaratkan kondisi bahwa pasangan itu hanya bisa saling
bertemu pada saat siang saja, belajar bersama, dan melakukan kegiatan apapun
kecuali aktivitas seksual.
Nikah
mut’ah adalah pernikahan yang bersyarat. Tujuan (pernikahan) yang ditentukan
pada saat ‘aqd bisa saja hanya untuk saling berbicara satu sama lain. Meskipun
saling berbicara antara laki-laki dan perempuan (yang bukan muhrim) untuk
keperluan tertentu tanpa dilandasi keinginan untuk berbuat dosa tidak dilarang
dalam ajaran Islam, namun laki-laki dan perempuan yang belum menikah dan
mempunyai kecenderungan untuk sering bersama seperti dalam studi ataupun lainnya, sangat ditekankan untuk
tetap membuat perjanjian untuk menghindarkan mereka dari berbuat dosa.
Perjanjian itulah yang dapat dipersyaratkan dalam nikah mut’ah.
4. Tanggung Jawab Rumah Tangga
Dalam
kasus lain, seorang laki-laki dan seorang perempuan mungkin belum mempunyai
kemampuan yang cukup untuk mengurus sebuah rumah tangga dengan segala tanggung
jawab ekonomi dan tanggung jawab hukumnya. Atau, mereka mungkin sudah mempunyai
kemampuan yang cukup untuk memenuhi tanggung jawab ekonomi keluarga, tetapi
mereka belum dapat merencanakan pernikahan da’im secara serius karena beberapa
masalah. Sebagai contoh dalam kasus ini adalah seorang pelajar yang harus pergi
ke negara lain untuk melanjutkan studinya. Pada keadaan ini, pelajar tersebut
tidak dapat menemukan kondisi yang baik untuk melakukan nikah da’im di negara
lain yang salah satu alasannya adalah perbedaan budaya yang cukup besar. Tetapi jika mereka mengalami tekanan
psikologis pada kondisi ini, mereka dapat melakukan suatu perjanjian tertentu
(dengan melakukan nikah mut’ah, pent.) untuk beberapa tahun selama mereka
berada di negara tersebut.
Pada
beberapa kondisi, jika seseorang tidak mampu mengendalikan gejolak biologisnya,
maka sebaiknya dia melakukan nikah mut’ah ataupun nikah da’im (untuk melindungi
dirinya dari perzinahan). Akan tetapi, pada kondisi seperti yang telah
disebutkan di atas, nikah mut’ah adalah solusi yang lebih praktis.
5. Kondisi Sosial Masyarakat
Di setiap
masyarakat, pasti ada perempuan-perempuan janda yang telah ditinggal mati oleh
suaminya ataupun karena perceraian melalui thalaq. Umumnya, tidak ada seorang
laki-laki yang masih ingin menikahi perempuan yang sudah berstatus janda
seperti itu. Akhirnya, perempuan-perempuan janda tersebut dihadapkan pada
beberapa pilihan seperti berikut.
a.
Mereka harus mengubur dalam-dalam naluri keperempuanan
dan kebutuhan biologis mereka dan memilih hidup sendiri layaknya seorang
biarawati. Kadang-kadang hal ini terjadi ketika masyarakat menganggap bahwa
kejadian yang menimpa perempuan tersebut akibat kesalahannya sendiri, adanya
tradisi masyarakat tertentu (yang mengucilkan seorang janda, pent.), ataupun
tradisi untuk memilih hidup sendiri tanpa terikat institusi keluarga yang
jelas-jelas dilarang di dalam ajaran Islam.
b.
Mereka akhirnya memilih jalan sendiri untuk
memenuhi naluri keperempuanan dan hasrat biologisnya di jalan maksiat, jalan
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etika dan moralitas seperti yang telah
terjadi di dunia Barat saat ini.
c.
Mereka terpaksa menjadi anggota masyarakat
yang miskin, lemah, dan gelandangan jika mereka tidak mampu menghidupi diri
mereka sendiri.
Islam
pasti mempunyai penyelesaian untuk masalah-masalah psiko-sosial seperti ini.
Solusi yang paling tepat adalah
dibolehkannya nikah mut’ah sehingga perempuan janda tersebut dapat memenuhi
kecenderungan psikisnya sambil mencari kemungkinan untuk dapat menikah secara
da’im kembali dengan laki-laki yang lebih baik. Tentu saja, mereka dapat
memilih jalan mereka sendiri, apakah akan menikah lagi ataupun memilih untuk
tetap hidup sendiri tanpa seorang suami. Untuk kondisi seperti ini, tidak
masalah yang ditimbulkannya. Masalahnya kemudian akan muncul jika mereka
terpaksa memilih dua kemungkinan berikut, apakah mereka akan membiarkan dirinya
jatuh ke dalam kemaksiatan, atau mereka memilih untuk melakukan nikah mut’ah
sebagai jalan yang telah diberikan oleh Allah Swt dan RasulNya, demi menghindarkan dirinya dari dosa dan
cela. Dan tentunya, kemungkinan yang kedua inilah yang harus dipilih untuk
menghindarkan perempuan-perempuan janda tersebut dari kemaksiatan.
6. Perbedaan Agama dalam Pernikahan
Menurut ajaran Islam, meskipun laki-laki muslim
diperbolehkan menikah secara da’im dengan perempuan non Muslim dari ahlul
kitab, tapi pernikahan seperti itu hukumnya makruh. Hal ini didasarkan pada
fungsi pernikahan da’im yang harapkan sebagai ikatan suami istri seumur hidup,
sementara tak ada seorangpun yang bisa menjamin bahwa perempuan non Muslim akan
mengubah keyakinannya ketika sudah menikah. Islam bukan hanya sebuah adat
istiadat, tapi Islam adalah pandangan hidup yang sempurna. Dan kita ketahui,
kebanyakan pernikahan dua orang yang berbeda agama dan keyakinan tidak akan
mampu menciptakan keluarga yang bahagia jika kedua belah pihak tetap ingin
mempertahankan keyakinannya masing-masing dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Sebaliknya, nikah mut’ah
adalah ikatan suami istri yang akan berakhir dengan sendirinya setelah periode
nikah mut’ah itu selesai. Dan dengan
cara ini, diharapkan selama periode tersebut, jika perempuan non Muslim
tersebut benar-benar tertarik kepada Islam, maka dia dapat memutuskan untuk
tetap melanjutkan ikatan mereka ke pernikahan da’im dimana dia dapat memulai
keyakinan baru, keyakinan yang terpancar dari kesempurnaan ajaran Islam yang
telah diperolehnya selama dia menjalani periode pernikahannya.
7. Perpanjangan Periode Nikah Mut’ah
Salah satu aspek yang
menarik dalam nikah mut’ah adalah, pasangan suami istri dapat memperpanjang
periode mereka atau bahkan melanjutkannya ke nikah da’im jika mereka telah
memutuskan untuk tetap hidup bersama selamanya. Pasangan ini dapat melakukan
perpanjangan jika
a.
Periodenya sudah berakhir.
b.
Laki-laki “mengembalikan” sisa periode mereka
kepada perempuan untuk menyelesaikan
periode mereka yang pertama secepatnya, dengan kewajiban untuk tetap memberikan
mahar seluruhnya kepada perempuan (jika dia belum menunaikannya). Setelah
“pengembalian” ini, mereka dapat membuat perjanjian yang baru dengan mahar yang
baru pula. Jika perempuan akan menikah kembali dengan laki-laki yang sama, maka
tidak ada masa iddah yang diwajibkan kepadanya.
Metode kedua dalam
memperbaharui perjanjian dalam nikah mut’ah di atas didasarkan pada hadits dari
Imam Ja’far as. Imam pernah ditanya perihal laki-laki yang menikah mut’ah
dengan seorang perempuan untuk jangka satu bulan; tapi ternyata, laki-laki itu
merasakan cinta yang semakin besar kepada istrinya. Sebelum periode mereka
berakhir, dapatkah laki-laki memperbaharui perjanjian dengan memperpanjang
periode dan menambah mahar sebelumnya? Imam menjawab bahwa perpanjangan seperti
itu tidak diperbolehkan karena perjanjian yang pertama akan tetap berlaku.
Tetapi yang mesti dia lakukan adalah: “Dia harus mengembalikan sisa periode
nikah mut’ah mereka (kepada perempuan) kemudian menetapkan perjanjian yang baru.” (Wasa’il al-Syi’ah,
V14, hal. 478). Cara ini akan memberikan jaminan bahwa perempuan mempunyai
pilihan yang bebas untuk menetapkan perjanjian yang baru jika periode mereka
sudah berakhir dan setelah dia menerima mahar seluruhnya. Pilihan ini dapat
dilakukan oleh perempuan tanpa tekanan atau bujukan, setelah periode nikah
mut’ah yang pertama berakhir.
Dalam proses (perpanjangan
periode nikah mut’ah) ini, hendaknya perjanjian harus diulangi seluruhnya,
mahar yang baru harus ditunaikan, izin yang baru dari wali bagi seorang
gadis, serta mengulangi kalimat yang
diucapkan saat ‘aqd. Penerimaan dan persetujuan dalam hati saja tidak cukup
(secara hukum), oleh karena itu beberapa kalimat harus diucapkan secara lisan.
Salah satu syarat dalam semua jenis pernikahan adalah pernyataan persetujuan
secara verbal, baik oleh kedua orang yang hendak menikah maupun oleh
orang-orang yang mewakili keduanya.
8. Nikah Mut’ah Berbeda dengan Poligami
Nikah mut’ah berbeda dengan
poligami yang saat ini masih jarang
dilakukan. Jika nikah mut’ah diaplikasikan dalam sebuah masyarakat Islami, hal
itu akan mampu mengurangi kasus perceraian, mencegah prilaku seksual bebas di
kalangan remaja, mengurangi dosa-dosa mata dan lain-lain.
Sebenarnya masih banyak
keuntungan lain dari salah sunnah Rasulullah Saww yang memperbolehkan nikah
mut’ah ini, tetapi kami tidak dapat menjelaskan semuanya karena keterbatasan
tempat. Untuk mengetahui beberapa manfaat nikah mut’ah lainnya, silahkan
merujuk kepada Tawfiq al-Fukaiki dalam bukunya, “The Mut’a and Its Effect/Benefit
on Society.”
Namun, kami ingin
menekankan bahwa, dibolehkannya nikah mut’ah tidak harus menggantikan fungsi
nikah da’im dalam membentuk sebuah keluarga yang sakinah. Bagaimanapun, semua
usaha harus diarahkan untuk membentuk institusi keluarga melalui pernikahan
da’im serta menghilangkan berbagai masalah
dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan dengan segala kecenderungannya. Kita harus memandang nikah mut’ah sebagai
solusi kedua untuk melindungi masyarakat dan menjaga setiap orang dari
kemungkinan pengaruh buruk yang saat ini dapat kita saksikan bukan hanya di
Barat, tetapi juga di beberapa negara .
Bagian
Delapan
Beberapa Pertanyaan
Seputar Nikah Mut’ah
Setelah membaca setiap
bagian di awal tulisan ini, banyak orang yang mengirimkan pertanyaan-pertanyaan
kepada kami; bukan hanya pertanyaan hipotetis, tetapi juga pertanyaan yang
bermutu. Berikut ini kami kutipkan pertanyaan-pertanyaan tersebut berikut
jawaban yang kami berikan.
1. Dapatkah seseorang melakukan nikah mut’ah dalam
waktu sejam saja?
Saya ingin mengatakan bahwa
secara teoritis jawabannya ya. Hal ini sama alasannya dengan kasus thalaq dalam
nikah da’im yang dijatuhkan satu jam setelah ‘aqd yang bahkan bisa kurang dari
itu. Secara logis, jika suatu hal tidak membatalkan keabsahan pernikahan da’im,
maka hal itu juga tidak akan membatalkan keabsahan nikah mut’ah.
2. Apakah perbedaan antara nikah mut’ah dan
prostitusi?
Pada bagian awal, kami
telah menjelaskan bahwa nikah mut’ah dan nikah da’im mempunyai perbedaan yang
tidak signifikan. Seperti yang telah kami katakan, seorang laki-laki dapat
menikahi seorang perempuan secara da’im hari ini lalu menceraikannya besok.
Lalu, dimanakah perbedaan tersebut?
Di samping itu, Allah tidak
mungkin membicarakan prostitusi ketika menurunkan ayat tentang nikah mut’ah di
dalam Alqur’an (4:24), anda sendirilah yang berpikir seperti itu. Semua orang
(Muslim) sependapat bahwa Rasulullah Saww pernah membolehkan nikah mut’ah pada
waktu-waktu tertentu (seperti yang dipercayai oleh mazhab Sunni, pent.).
Demikian juga, semua orang percaya bahwa Rasulullah Saww tidak pernah
mengatakan sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri (La Yantiqu Anil Hawa). Kedua
premis ini menjelaskan perbedaan antara nikah mut’ah dan prostitusi. Perbedaan
itu adalah, Allah dan RasulNya membolehkan nikah mut’ah sedangkan prostitusi tidak.
Jawaban yang singkat untuk
pertanyaan anda adalah, yang satu dibolehkan dan satunya lagi dilarang. Sebagai
contoh, ada seseorang yang sangat
berpengalaman dalam mengendarai mobil. Saat dia pergi ke negara lain,
agar dapat membawa mobil, maka dia diharuskan mempunyai surat izin mengemudi
(SIM) yang sesuai dengan peraturan di negara tersebut. Sekarang, jika dia
membawa mobil tanpa SIM, apakah perbedaannya dengan seseorang yang mengendarai
mobil dengan SIM tetapi kurang berpengalaman dibandingkan yang pertama?
Jawabannya adalah, tindakan orang pertama bertentangan dengan hukum sementara
yang kedua bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Laki-laki dan perempuan
dapat melakukan hubungan seksual dalam tiga kasus yaitu nikah da’im, nikah
mut’ah dan prostitusi. Alqur’an menjelaskan bahwa kasus yang ketiga diharamkan
dan dua yang pertama diperbolehkan. Perbedaan yang lain dari tiga kasus ini
adalah, di dalam prostitusi, seorang perempuan dapat berhubungan dengan
laki-laki lain satu jam setelah laki-laki yang pertama selesai; tetapi di dalam
nikah da’im dan nikah mut’ah, seorang perempuan harus melewati masa iddah sebelum dia dapat berhubungan
dengan laki-laki lain. Seperti yang telah kami jelaskan, menurut mazhab Syi’ah,
masa iddah dalam nikah mut’ah adalah dua siklus haid (minimal 45 hari untuk
perempuan di usia haid tetapi tidak mengalami haid karena alasan tertentu).
Masa iddah ini sedikitnya melayani hanya delapan orang pelanggan bagi seorang
pelacur. Saya yakin, seorang germo akan mengalami kerugian pada tahun pertama
jika kompleks pelacurannya mengikuti aturan nikah mut’ah. Itulah
perbedaan-perbedaan antara nikah mut’ah dan prostitusi yang dapat kami sebutkan
meskipun masih banyak perbedaan yang lain. Semoga Allah Swt memberi petunjuk
kepada orang-orang yang menertawakan agama Allah dan Rasulullah Saww karena
kebodohan mereka.
3. Apakah mungkin orang tua mengizinkan anak
perempuannya melakukan nikah mut’ah?
Saya ingin mengatakan bahwa
mereka pasti mengizinkan anaknya.
Alasannya adalah, karena mereka telah mengalami pernikahan da’im, maka
pengalaman itu cukup untuk menjadi alasan dalam pernikahan mut’ah. Jika seorang
ayah mempunyai anak perempuan yang belum menikah dan riskan melakukan
perzinahan tetapi belum ada seorang laki-lakipun yang ingin melamarnya untuk
nikah da’im (apapun alasannya), apakah orang tua tersebut akan mengizinkan
anaknya menikah mut’ah (yang telah dibolehkan oleh Rasulullah Saww) dengan laki-laki yang shaleh atau membiarkannya
berbuat zina? Saya yakin bahwa masih banyak alasan yang lain yang bisa kita
pikirkan. Hal ini belum termasuk alasan jika kita memandangnya dari sudut
pandang laki-laki. Bagaimana misalnya dengan pelajar diluar negri yang tidak
ingin menikah secara da’im dengan perempuan ahlul kitab? Bagaimana kemungkinan
seorang istri yang non Muslim yang ingin masuk Islam? Bagaimana dengan
kemungkinan memberikan dakwah kepada keluarga istri non Muslim? Apakah kamu
pikir bahwa orang tua non Muslim perduli pada masalah-masalah seperti ini? Saya
pikir tidak!
Bahkan di negri-negri Islam
sendiri saya ingin mengatakan , meskipun Islam sendiri pada hakikatnya
cenderung merubah kebudayaan masyarakat (ke arah yang lebih baik), tetapi
karena keterbelakangan tingkat pendidikan masyarakat dan kecenderungan kuatnya
pengaruh kebudayaan masyarakat itu sendiri, justru ajaran Islamlah yang
mengalami kontaminasi budaya setempat dan dianggap (hanya) sebagai salah satu
budaya dalam konteks budaya masyarakat secara global. Oleh karena itu, kita
harus bisa membedakan antara kebenaran yang dibawa oleh Islam sebagai ajaran
yang Ilahiyyah dengan nilai-nilai yang lahir dari sebuah budaya.
Tentang pernikahan secara
umum, masih banyak keluarga Muslim yang mempunyai tradisi dan budaya sendiri
dalam menikahkan anak perempuan mereka yang kadang-kadang hanya didasarkan pada
alasan yang tidak rasional. Dalam hal ini, kita tidak boleh menyalahkan agama
Islam pada saat pengikutnya masih memiliki banyak kekurangan dan bahkan masih memegang mentalitas kesukuannya.
Beberapa pandangan
masyarakat (dalam hal pernah pernikahan) masih banyak yang didasarkan pada
budaya dan tradisi yang sebenarnya bertentangan dengan pikiran yang rasional.
Apakah kita ingin mencoba menyelamatkan anak-anak kita dengan membuat peraturan
untuk membahagiakan mereka tetapi justru membuat kerusakan? Standar apa yang
dapat kita gunakan untuk membedakan yang mana kerusakan dan mana yang bukan?
Tidak bolehkah kita berdasarkan hanya kepada ajaran Islam yang sudah terbukti
kebenarannya?Jika seperti ini logikanya, maka kita telah menyaksikan bahwa
nikah mut’ah tidak semestinya dicegah karena nikah mut’ah adalah ajaran Islam
yang telah terbukti kebenarannya.
Sekarang ini, banyak orang
Muslim yang lebih toleran kepada teman-teman dan keluarganya yang mereka tahu atau dengar dari
orang lain adalah pelacur; tetapi, mereka justru tidak mau menerima konsep
nikah mut’ah yang dapat memberikan solusi masalah-masalah sosial dan mencegah
perzinahan yang terjadi di masyarakat. Mereka tidak mau menerima bahwa nikah
mut’ah dibolehkan dan dianjurkan (oleh
Rasulullah Saww) dan sebenarnya yang melarangnya adalah Umar.
4. Apakah laki-laki akan menerima jika saudara
perempuannya melakukan nikah mut’ah?
Pertanyaan ini mirip dengan
pertanyaan sebelumnya. Standar apa yang digunakan seorang laki-laki untuk
menerima atau menolak hal ini? Apakah nikah mut’ah itu tidak sesuai dengan
perintah Allah? Atau apakah agama Allah yang harus dirujukkan kepada keinginan
dan kecemburuan laki-laki tersebut?
Lagi pula, mengapa banyak
laki-laki yang melakukan nikah mut’ah tetapi melarang saudara perempuannya
untuk melakukan hal yang sama? Sejak kapan ketidaksukaan kita bisa menjadi
parameter untuk menilai sesuatu itu salah atau tidak? Hasrat seksual adalah
keinginan alami yang telah diciptakan oleh Allah Swt dalam diri manusia. Apakah
perbedaan antara kebahagiaan seorang suami bersama saudara perempuan seseorang
dalam nikah mut’ah dengan kebahagiaan seorang suami dalam pernikahan da’im yang
diikuti oleh perceraian yang sangat cepat dalam kasus yang sama?
Mengapa kita menganggap
bahwa hanya suami yang merasakan kenikmatan dalam nikah mut’ah ini sedangkan
istri tidak? Mengapa kita tidak berpikir bahwa kenikmatan itu akan dirasakan
oleh keduanya? Mengapa kita tidak menerima bahwa nikah mut’ah bukan hanya
hubungan pisik saja tetapi juga mencakup cinta, kasih sayang, emosi dan sensasi
psikis meskipun hanya dalam satu bulan misalnya?
Saya berpikir, janganlah
kita mendistorsi ajaran Islam hanya karena ketidakmampuan kita melihat sebuah
kebenaran yang nyata, apalagi hanya karena masalah-masalah tradisional yang
tidak sesuai dengan norma-norma keadilan.
5. Mengapa kita tidak langsung menikahkan laki-laki
dan perempuan secara da’im saja dan membiarkan mereka saling mengenal satu sama
lain setelah mereka menikah (untuk menggantikan masa penjajakan dengan
melakukan nikah mut’ah dalam masa pertunangan seperti yang telah dijelaskan
oleh penulis, pent.)?
Pernikahan da’im tidak bisa
dilakukan untuk tujuan seperti itu dengan beberapa alasan sebagai berikut.
a.
Pertama, setelah ‘aqd nikah da’im, seorang istri
tidak bisa menjatuhkan thalaq kepada suaminya jika sekiranya dia menemukan
bahwa ternyata suaminya tidak (atau kurang) baik. Dalam kasus ini, jika seorang
laki-laki menyukai istrinya tetapi istri tidak terlalu suka kepada suaminya,
maka tidak akan terjadi thalaq. Dengan demikian, menggunakan periode awal nikah
da’im bagi laki-laki dan perempuan yang ingin hidup bersama sebagai waktu
saling menjajaki hanya akan menguntungkan pihak laki-laki saja. Sebaliknya,
nikah mut’ah akan berakhir pada waktunya. Dan selanjutnya, baik laki-laki
maupun perempuan, akan mempunyai hak yang sama untuk membuat keputusan (apakah
akan melanjutkan ke nikah da’im atau tidak).
Namun, seperti yang telah
saya sebutkan sebelumnya, pada beberapa kondisi, seorang marja’ atau hakim
dapat memberikan hak menjatuhkan thalaq kepada perempuan. Tapi hal ini
memberikan resiko kepada perempuan jika sekiranya keputusan marja’ atau hakim
bertentangan dengan keinginan perempuan tersebut. Akhirnya, alih-alih saling
mengenal, justru yang terjadi adalah
kerenggangan kedua belah pihak.
b.
Kedua, di dalam perjanjian nikah da’im, seseorang
tidak bisa menolak percampuran atau hubungan seksual. Dengan kata lain,
hubungan seksual adalah kemestian dan kewajiban dalam nikah da’im. Sebaliknya,
kewajiban dan kemestian ini tidak ada di dalam nikah mut’ah. Lantas bagaimana
mungkin seorang perempuan melakukan nikah da’im “hanya untuk mengenal” suaminya lebih dekat.?
c.
Ketiga, mekipun orang dapat menceraikan istrinya,
tetapi perceraian adalah sesuatu yang dibolehkan tetapi sangat dibenci di dalam
Islam. Alasannya adalah, suami istri semestinya hidup dalam kebahagiaan dengan
segala tanggung jawab moralnya. Jika seorang laki-laki yang setelah sebulan
hidup bersama istrinya, setelah mengambil keperawanan dan kesuciannya, tapi
kemudian dia menceraikannya di dalam
periode penjajakan ini hanya dengan alasan suami tidak terlalu menyukainya,
keadaan ini akan menjadi pukulan yang berat bahkan menjadi beban psikologis
bagi perempuan tersebut. Harus diingat, walaupun seorang suami melakukan hal
yang memalukan ini, tidak ada seorangpun yang bisa menghukumya karena dia
menggunakan hak thalaqnya. Tetapi, tindakan ini secara moral jelas menjijikkan.
Oleh karena itu, nikah da’im bukanlah pilihan yang tepat untuk masa penjajakan dan
saling mengenal antara laki-laki dan perempuan. Ingat, pilihan kita haruslah
praktis dan bersifat teknis, tidak didasarkan pada pendapat dan asumsi-asumsi yang sangat ideal. Kita
tidak bisa menjamin bahwa laki-laki dan perempuan akan benar-benar saling
mempercayai satu sama lain sebelum menikah.
Sebaliknya, nikah mut’ah
tidak mempunyai resiko apa-apa. Pertama, laki-laki maupun perempuan sudah mengetahui bahwa mereka akhirnya akan
berpisah setelah waktunya berakhir sehingga mereka tidak akan terkejut dan
mencemaskan perceraian mereka. Yang kedua, tidak ada satupun di antara mereka
yang mempunyai tanggung jawab moral (maupun tanggung jawab hukum, pent.) untuk
melanjutkan pernikahan setelah periodenya berakhir. Di samping itu, suami tidak
berhak memaksa istri untuk melanjutkan pernikahan tersebut setelah periodenya berakhir, demikian pula
sebaliknya. Dan seperti yang telah kami sebutkan, mereka dapat mensyaratkan
bahwa hubungan seksual tidak ada selama
periode nikah mut’ah yang mereka jalani.
6. Jika seorang suami meninggalkan kota (tempat dia
melakukan nikah mut’ah) setelah periodenya berakhir, apakah dia diwajibkan
untuk mencari tahu kemungkinan istrinya hamil? Apakah dia juga diwajibkan
memberikan biaya pemeliharaan untuk anaknya?
Jika seorang laki-laki
pergi ke suatu tempat dan melakukan nikah mut’ah di tempat tersebut, dia
diwajibkan untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya tentang
identitasnya, tempat tinggalnya serta
bagaimana cara menghubunginya. Hal ini dimaksudkan jika perempuan
tersebut hamil, dia secepat mungkin dapat menyampaikan berita kehamilannya
untuk meminta nafkah kepada bapak anak itu. Hal ini juga diharuskan di dalam
nikah da’im. Jika seorang suami menceraikan istriya lalu meninggalkan kota
tempat tinggal istrinya, maka dia diharuskan untuk memberikan informasi tempat
tinggalnya yang baru agar dapat dihubungi jika bekas istrinya hamil setelah dia
meninggalkan kota tersebut. Anak yang lahir dari kedua kasus ini tetap menjadi
ahli waris dari bapak dan ibunya.
7. Dapatkah seorang laki-laki menikah mut’ah lagi jika
dia sudah mempunyai empat istri dari nikah da’im dan atau nikah mut’ah?
Ya. Seluruh kasus pada
gadis yang melakukan nikah mut’ah (termasuk masa iddah) sama dengan kasus
pernikahan dengan budak perempuan. Semua mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki
dapat menikahi budak perempuan berapapun jumlahnya. Tetapi di dalam nikah
da’im, jumlah perempuan yang dapat dinikahi dibatasi hanya sampai empat orang.
Namun, dianjurkan bagi seorang laki-laki untuk
menikah mut’ah dengan perempuan maksimal empat orang saja.
Alasan sehingga Islam
membatasi jumlah istri da’im maksimal sampai empat orang saja adalah, di dalam
nikah da’im, suami memikul tanggung jawab yang tidak ada pada jenis pernikahan
lainnya. Tanggung jawab ini tidak akan dapat dipenuhi jika istri da’im melebihi
empat orang. Sebagai contoh, suami dalam pernikahan da’im harus aktif secara
seksual sementara itu dia diwajibkan untuk tidur bersama istrinya minimal
sekali dalam empat malam, lantas bagaimana dia harus memenuhi kewajiban ini
jika istrinya lebih dari empat orang?? Di samping itu, pemberian nafkah
finansial kepada istri bukanlah hal yang mudah (apalagi untuk empat orang).
Kewajiban seperti ini tidak dikenakan di dalam nikah mut’ah. Meskipun hal itu bisa dipersyaratkan saat perjanjian
dan ‘aqd, tetapi hal itu tidak ditekankan dalam nikah mut’ah. Seperti juga yang
telah kami sampaikan, seorang laki-laki yang sudah mempunyai istri da’im tidak
dianjurkan lagi untuk menikah mut’ah karena hal itu bisa mengganggu ketentraman keluarganya.
8. Apakah dalam nikah mut’ah juga diperlukan saksi?
Apakah laki-laki dan perempuan yang ingin menikah mut’ah dapat mengucapkan ‘aqd
hanya berdua saja?
Pertanyaan ini mempunyai
jawaban yang sama dengan pada kasus nikah da’im. Dalam kedua kasus ini, kalimat
yang diucapkan secara spiritual tidak memerlukan saksi (karena Allah yang
menjadi sebaik-baik saksi bagi mereka, pent.). Mereka yang hendak menikah dapat
mengucapkan ‘aqd berdua tanpa disaksikan orang lain. Akan tetapi, harus
ditekankan lagi bahwa, jika perempuan tersebut masih gadis (perawan), maka
laki-laki diharuskan mendapat izin dari orang tua (wali) gadis tersebut
meskipun kehadiran orang tua (wali) gadis tersebut tidak diwajibkan pada saat
‘aqd diucapkan.
Kami ingin menggaris bawahi
bahwa apa yang kami katakan adalah penjelasan berdasarkan hukum agama. Oleh
karena itu, pasangan yang hendak menikah dapat saja mendaftarkan pernikahan
mereka ke kantor catatan sipil (yang menurut hukum agama tidak diperlukan),
ataupun melakukan peraturan-peraturan lain termasuk kehadiran wali dan saksi
(jika peraturan pemerintah memang mengharuskan hal itu).
Namun, mereka yang ingin
melakukan nikah mut’ah di negara-negara Barat tidak perlu mendaftarkan
pernikahannya ke kantor catatan sipil karena pernikahan mereka pada akhirnya
akan habis setelah periodenya berakhir. Pernikahan yang mereka lakukan hanyalah
hubungan yang bersifat sementara dan
tidak memerlukan berbagai tanggung jawab seperti halnya yang diwajibkan
dalam nikah da’im ( seperti pemberian nafkah, warisan dan lain-lain). Dalam
pandangan hukum Barat, hubungan seperti itu tak lebih dari hubungan pacaran
antara laki-laki dan perempuan yang justru menjadi bagian dari budaya mereka,
bahkan banyak dipraktekkan tanpa batasan apa-apa. Tetapi, pengucapan ‘aqd secara
verbal saat hendak melakukan nikah mut’ah adalah sebuah kewajiban untuk
memenuhi seluruh aturan-aturan nikah mut’ah yang telah ditetapkan oleh Islam.
Di samping itu, di
negara-negara Barat, tak ada orang yang perduli terhadap hubungan laki-laki dan
perempuan. Tetapi di negara-negara Muslim, untuk menghindari tuduhan melakukan
perzinahan, sebaiknya pasangan yang hendak melakukan nikah mut’ah harus
mempunyai beberapa orang saksi untuk melindungi mereka. Tapi yang jelas,
kehadiran saksi dalam sebuah pernikahan tidak menjadi bagian dari syarat sahnya
pernikahan tersebut.
Dalam kasus nikah mut’ah,
pasangan yang hendak menikah tidak harus menyampaikan perihal pernikahan mereka
kepada masyarakat umum apalagi jika masyarakat di daerah tersebut tidak
menerima, tidak mengerti, atau tidak perduli tentang konsep nikah mut’ah.
Sebenarnya, dalam nikah da’im juga tidak diwajibkan menyampaikan perihal
pernikahan tersebut kepada masyarakat umum, meskipun penyampaian seperti ini
sangat dianjurkan.
9. ‘Aqd nikah mut’ah yang pernah saya lihat adalah
berbahasa Arab. Apakah ‘aqd tersebut memang harus diucapkan dalam bahasa Arab?
Sekali lagi, jawaban untuk
pertanyaan ini sama dengan pada kasus nikah da’im. Beberapa mazhab tidak
sependapat dalam hal pengucapan ‘aqd nikah (mut’ah maupun da’im), apakah harus
dalam bahasa Arab atau tidak. Kebanyakan
mazhab berpendapat bahwa ‘aqd tersebut harus dalam bahasa Arab. Mazhab yang
lain menambahkan, jika yang mengucapkan ‘aqd tersebut mengerti bahasa Arab,
maka mereka wajib mengucapkannya dalam bahasa Arab; jika tidak, mereka bisa
mengucapkannya dengan bahasa mereka sendiri. Perlu dicatat bahwa kalimat yang
diucapkan saat ‘aqd nikah adalah kalimat yang sangat pendek, oleh karena itu
memperlajari bahasa Arabnya tidaklah terlalu sulit. Di samping itu, laki-laki
maupun perempuan tidak perlu mengetahuinya bersama-sama. Jika laki-laki sudah
mengetahuinya, maka perempuan dapat diwakili oleh laki-laki yang menjadi calon
suaminya, sama halnya jika kalimat itu diwakilkan kepada orang ketiga. Dan jika
laki-laki maupun perempuan sama-sama tidak mengerti bahasa Arab, maka kalimat
‘aqd yang diucapkan oleh keduanya dalam ‘aqd dapat diwakilkan kepada orang
ketiga tersebut.
10.
Dalam pendapat
penulis (yang saya anggap bukan fatwa), apakah seseorang dapat mengikuti salah
satu hukum yang dianggap logis dalam mazhab Syi’ah sementara dia masih
berpegang pada mazhab Sunni? Apakah hal itu diharamkan?
Menurut pandangan pribadi
saya, hal itu dibolehkan. Saya mengenal beberapa orang Sunni yang percaya bahwa
meskipun mereka mengetahui dengan baik dan mengikuti sebuah mazhab tertentu,
mereka tetap tidak taklid buta dan merujukkan seluruh keyakinannya pada mazhab
tersebut. Jika mereka menemukan satu hal yang terbukti kebenarannya di dalam
Alqur’an dan hadist Rasulullah Saww, mereka lalu mengikutinya. Sebagai contoh,
saya mengenal dan bersahabat dengan beberapa penganut mazhab Hanafi yang
berpengetahuan luas. Mereka mempercayai bahwa kita dapat menggabungkan shalat
Dhuhur dan shalat Ashar dalam satu waktu seperti yang diyakini oleh mazhab
Syi’ah. Ketika saya menanyai alasan mereka, mereka mengatakan: “Kami menemukan
banyak hadits di dalam Sahih Bukhari yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saww
biasa menggabung shalat Dhuhur dan shalat Ashar meskipun tidak sedang dalam
perjalanan dan tidak sedang dalam keadaan darurat. Di samping itu, kami melihat
setidaknya ada satu mazhab dalam Islam yang memperbolehkan penggabungan shalat
seperti itu (yaitu mazhab Imamiyyah). Karna banyaknya riwayat yang
memperbolehkan hal itu, maka kami yakin bahwa kami dapat melakukannya meskipun
kami mengikuti mazhab Hanafi.”
Di bawah ini saya kutipkan
fatwa dari Syaikh Muhammad Syaltut, Rektor Universitas Al-Azhar Kairo yang
telah berusaha untuk menjembatani hubungan antara mazhab Syi’ah dan Sunni.
Beliau membolehkan pengikut mazhab Sunni untuk mengikuti fatwa yang dikeluarkan
oleh mazhab Syi’ah. Saya hanya mengutip bagian kecil dari fatwa Syaikh tersebut
berikut ini.
Kantor Pusat Universitas Al-Azhar
Bismillahir Rahmanir Rahim
Naskah fatwa yang dikeluarkan oleh Yang Mulia
Rektor Universitas Al-Azhar,
Tentang dibolehkannya mengikuti mazhab “Al-Syi’ah
al-Imamiyyah”